BANYUWANGI – Lonjakan penumpang ke Bandara Blimbingsari, Banyuwangi, merangsang dua maskapai penerbangan Garuda Indonesia dan Wings Air menambah frekuensi penerbangan ke daerah di ujung timur Pulau Jawa tersebut.
Per 30 Oktober 2016, frekuensi penerbangan dari dan ke Banyuwangi akan bertambah menjadi empat kali penerbangan dalam sehari dari sebelumnya hanya tiga kali sehari. Bupati Abdullah Azwar Anas optimistis, penambahan frekuensi terbang tersebut bisa menggeliatkan perekonomian daerah.
“Dalam sehari nanti ada penerbangan Garuda Indonesia sebanyak dua kali, dan Wings Air sebanyak dua kali. Pilihan waktunya juga makin lengkap dari pagi hingga sore hari, sehingga memudahkan para wisatawan, dunia usaha, dan masyarakat luas untuk menuju ke Banyuwangi. Ini ikut menggerakkan perekonomian lokal,” ujar Anas.
Saat ini, karena lonjakan penumpang, terminal baru Bandara Banyuwangi sedang dibangun dengan konsep arsitektur hijau tanpa AC. Pembangunannya sudah mencapai 85 persen, dan ditargetkan bisa diresmikan pada awal 2017. Anas yakin, ke depan dengan beroperasinya terminal baru Bandara Blimbingsari, Banyuwangi, frekuensi maupun jumlah penumpang bakal terus meningkat.
“Terminal baru akan menjadi ikon baru yang bisa menarik perhatian wisatawan. Ini adalah terminal bandara berkonsep hijau pertama di Indonesia. Tanpa AC dengan arsitektur yang sangat unik dan berkarakter,” ujarnya. Jumlah penumpang di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi, terus mengalami peningkatan.
Tercatat pertumbuhan penumpang melonjak hingga 1.308 persen dari hanya 7.826 penumpang (2011) menjadi 110.234 penumpang (2015). Hingga Agustus 2016, bandara tersebut telah melayani lebih dari 71.000 penumpang. Sampai akhir tahun, total jumlah penumpang diprediksi sedikitnya 120.000 orang.
Keberadaan bandara yang mempermudah akses wisatawan dan dunia usaha ikut meng gerakkan perekonomian Banyuwangi. Berdasar data BPS, pendapatan per kapita warga melonjak 80 persen dari Rp20,8 juta per tahun pada 2010 menjadi Rp37,5 juta per tahun pada 2015.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) naik 85% dari Rp 32,4 triliun (2010) menjadi Rp 60,2 triliun (2015). Namun, Anas mengakui masih ada problem soal kesenjangan. Indeks Ketimpangan atau Gini Ratio Banyuwangi sudah turun dari 0,33 menjadi 0,29. Gini ratio adalah indeks ketimpangan yang diukur dari skala 0 sampai 1. Semakin mendekati nol, semakin baik.
“Ini berat karena banyak faktor. Tapi perlahan terus kami kurangi. Salah satu caranya dengan membuka banyak destinasi dan aktivitas ekonomi untuk membikin sentra pertumbuhan baru, seperti di wilayah selatan ada pabrik gula baru, di wilayah utara ada destinasi wisata baru,” jelas Anas. (radar)