Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Alat Musik Hadrah di Kedungliwung

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

alatProduksi Kampung Bisa Menembus Negeri Tetangga

KAMPUNG Kedungliwung dikenal sebagai produsen rebana. Ada beberapa perajin alat musik seni bernuansa Islami itu. Tak hanya melulu rebana, beberapa alat musik pendukung lain juga dibuat di kawasan tersebut. Sebut saja kendang, hajir, jidor, dan gong. Peralatan tersebut tidak hanya digunakan untuk seni hadrah dan kuntulan, tapi juga digunakan pengiring musik samroh, albanjari, marawis, dan kegiatan adat lain.

Sedikitnya ada enam pengusaha kerajinan alat musik pengiring hadrah kuntulan di Bumi Blambangan ini. Namun, usaha kerajinan yang didirikan M. Sholeh di Dusun Kedungliwung, Desa Kemiri, Kecamatan Singojuruh, ini memiliki perbedaandengan perajin lain. Seluruh proses pembuatan alat musik tersebut dari awal hingga akhir dikerjakan langsung oleh mendiang M. Sholeh.Kini usahanya diwariskan kepada anak sulungnya, Nur Hakim.  

Usaha kerajinan musik pengiring hadrah dan kuntulan milik Sholeh itu mulai dirintis tahun 1950-an. Usaha tersebut juga sudahbeberapa kali jatuh-bangun. “Yang paling parah adalah tahun 1960-an, masa PKI bergejolak di Indonesia, khususnya di Banyuwangi. Partai Komunis membatasi kegiatan yang berhubungan dengan kebudayaan saat itu. Apalagi, kebudayaan yang sarat dengan nilai agama Islam, seperti hadrah dan kuntulan.

 Saat itu ayah saya menghentikan sementara produksi alat kuntulan dan kesenian yang dijalaninya,” kenang Nur Hakim. Begitu memasuki era Orde Baru, Sholeh perlahan merintis kembali usaha kerajinan yang dijalaninya. Akhirnya, usahanya sempat mengalami masa emas pada era 1980-an. Saat itu seni hadrah dan kuntulan mulai diperagakan kalangan perempuan. Padahal sebelumnya, tarian kuntulan biasanya hanya diperagakan kaum lelaki. Usaha kerajinan alat musik rebana itu tidak memiliki karyawan. 

Seluruh proses dari awal hingga akhir dikerjakan sendiri oleh bapak-anak M. Sholeh dan Nur Hakim. Setelah Sholeh meninggal dunia setahun lalu, Nur Hakim mengaku kerepotan mengurus usaha kerajinan tersebut. “Dari awal berdiri, usaha kerajinan kami tidak menggunakan karyawan, karena mengunggulkan kualitas,” jelas Nur Hakim. Selama ini usaha pembuatan alat musik tersebut tidak kesulitan bahan baku.

Mereka sudah memiliki langganan kulit kambing dan kulit sapi di Kecamatan Genteng. Mereka yang selalu memasok. Begitu juga dengan kayu frame rebana, mereka sudah menggandeng pengusaha kayu gelondongan di Kecamatan Genteng. Kayu yang digunakan adalah kayu mahoni dan kayu nangka. “Dulu, kami pernah menggunakan kayu trembesi dan kayu sawo. 

Namun, karena sekarang kayu tersebut susah dicari, kami beralih menggunakan kayu mahoni dan nangka,” jelas Nur Hakim. Bukan tanpa pertimbangan dia memilih kayu mahoni dan kayu nangka untuk frame rebana. Dua jenis kayu tersebut ternyata memiliki kepadatan yang baik. Selain itu, serat kayunya besar, sehingga kualitas suara yang dihasilkan baik. Yang menarik, rebana made in Singojuruh sudah dikenal di penjuru Nusantara. Konsumen yang memesan rebana tak hanya berasal dari Banyuwangi dan sekitarnya.

Ternyata, pemesan rebana made in Kedungliwung itu juga datang dari berbagai wilayah di Indonesia,bahkan dari luar negeri.  Terbaru, pemesan rebana made ini Kedungliwung adalah warga Malaysia. Sejauh ini, perbulan produsen rebana itu sedikitnya menerima order tiga set alat musik. Satu set alat musik tersebut biasanya terdiri atas sembilan rebana, tiga jidor, dua kendang, satu pasang gong, dan satu pasang kethuk. (radar)