Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Berdoa dan Makan Bersama di Petilasan Prabu Tawang Alun

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

warga-membawa-tumpeng-dengan-disunggi-di-atas-kepala-sambil-berjalan-kaki-menuju-makam-keramat-yang-diyakini-petilasan-prabu-tawang-alun-sabtu-lalu

Mengikuti Tradisi Tumpengan Takir Sewu di Desa Sraten

MENDUNG hitam menggelayut di langit Desa Sraten, Kecamatan Sempu. Tidak lama hujan pun turun rintik-rintik dan membasahi  hamparan tanah. Sejumlah warga yang berkerumun sambil membawa nasi tumpeng, mulia menepi mencari tempat berteduh. Hujan  deras, akhirnya turun juga.

Guyuran hujan yang cukup deras tidak lama mendadak terang seperti disapu kencangnya angin. Ratusan warga yang di dominasi ibu- ibu, kembali berjajar dengan memanjang di  jalan raya Dusun Krajan, Desa Sraten.  Setelah acara pembukaan yang ditandai  dengan pelepasan balon, ratusan warga laki-laki, perempuan, tua, muda, hingga anak-anak  ikut berjalan dari  masjid menuju sumber Kaputren.

Lokasi sumber air itu berada di tengah  lahan pertanian kebun jeruk milik warga.  Hanya saja, keberadaan sumber air itu masih   tetap dibiarkan mengalir yang konon sejak ratusan tahun silam. Sumber air itu, oleh warga diyakini tempat pemandian Kaputren.

Mata air yang mengalir tak pernah mati, meski di musim kemarau panjang sekalipun. Keberadaan sumber air itu, hingga kini masih digunakan petani untuk irigasi pertanian. “Ritual ini ungkapan syukur  atas nikmat yang diberikan Allah kepada seluruh warga,” ujar Kepala Desa Sraten, H.A Rahman Mulyadi.

Usai mengambil mata air di sumber Kaputren tersebut, warga langsung menuju makam Mbah Gitik yang berjarak sekitar 100 meter dari sumber Kaputren tersebut. Selama di pemakaman leluhur desa itu, warga memanjatkan doa bersama dengan dipimpin pemuka agama setempat.

Dalam doa itu warga membaca tahlil dan memanjatkan doa bersama-sama. Dengan berpakaian muslim, warga kembali membawa tumpeng raksasa, nasi tumpeng, dan takir  sewu menuju petilasan Prabu Tawang Alun yang berjarak sekitar satu kilometer ke arah  timur dari makam Mbah Gitik.

Tetapi, masyarakat setempat  meyakini petilasan itu sebagai  makam Prabu Tawang Alun.  Di makam yang diyakini petilasan Prabu Tawang Alun di Kampug Kedawung, Dusun Krajan, Desa  Sraten, warga kembali berdoa dengan membacakan kalimat toyibah.

Selanjutnya, menyantap nasi tumpeng dan takir sewu yang dibawa  secara beramai-ramai. “Yang datang itu banyak dari luar desa, semuanya makan tumpeng bersama-sama,  dan ini sebagai simbol kebersamaan dan kerukunan antar warga,” cetus  Rahman Mulyadi.

Tradisi kirab tumpeng raksasa dan takir sewu itu, merupakan tradisi lama yang sudah tumbuh  dan berkembang di masyarakat  sejak puluhan tahun lalu. Hanya saja, selama ini dilakukan oleh beberapa orang saja. Kegiatan yang juga selamatan kampung itu digelar rutin setiap  bulan Suro.

Dan itu wujud melestarikan warisan leluhur. Sebagian besar warga di Kampung Kedawung, Dusun Krajan, Desa Sraten,  meyakini tiga makam leluhur itu masih keramat. Tidak hanya bagi warga setempat, lokasi itu juga  kerap dikunjungi peziarah dari  luar daerah Banyuwangi, terutama  selama bulan Suro Ziarah ke makam leluhur itu juga masih sering dilakukan warga   setempat jika mempunyai hajat, seperti khitanan dan pernikahan. Dan itu bagian budaya pamit kepada  leluhur desa sebelum menggelar   hajatan.

Jika tidak pamit atau berziarah di makam leluhur, biasanya selalu ada hambatan. Ada saja, turun  hujan dan petir, nasi cepat membusuk, dan macam-macam gangguannya,” ungkap Imam Musari, sesepuh adat setempat. (radar)