Mengikuti Tradisi Tumpengan Takir Sewu di Desa Sraten
MENDUNG hitam menggelayut di langit Desa Sraten, Kecamatan Sempu. Tidak lama hujan pun turun rintik-rintik dan membasahi hamparan tanah. Sejumlah warga yang berkerumun sambil membawa nasi tumpeng, mulia menepi mencari tempat berteduh. Hujan deras, akhirnya turun juga.
Guyuran hujan yang cukup deras tidak lama mendadak terang seperti disapu kencangnya angin. Ratusan warga yang di dominasi ibu- ibu, kembali berjajar dengan memanjang di jalan raya Dusun Krajan, Desa Sraten. Setelah acara pembukaan yang ditandai dengan pelepasan balon, ratusan warga laki-laki, perempuan, tua, muda, hingga anak-anak ikut berjalan dari masjid menuju sumber Kaputren.
Lokasi sumber air itu berada di tengah lahan pertanian kebun jeruk milik warga. Hanya saja, keberadaan sumber air itu masih tetap dibiarkan mengalir yang konon sejak ratusan tahun silam. Sumber air itu, oleh warga diyakini tempat pemandian Kaputren.
Mata air yang mengalir tak pernah mati, meski di musim kemarau panjang sekalipun. Keberadaan sumber air itu, hingga kini masih digunakan petani untuk irigasi pertanian. “Ritual ini ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada seluruh warga,” ujar Kepala Desa Sraten, H.A Rahman Mulyadi.
Usai mengambil mata air di sumber Kaputren tersebut, warga langsung menuju makam Mbah Gitik yang berjarak sekitar 100 meter dari sumber Kaputren tersebut. Selama di pemakaman leluhur desa itu, warga memanjatkan doa bersama dengan dipimpin pemuka agama setempat.
Dalam doa itu warga membaca tahlil dan memanjatkan doa bersama-sama. Dengan berpakaian muslim, warga kembali membawa tumpeng raksasa, nasi tumpeng, dan takir sewu menuju petilasan Prabu Tawang Alun yang berjarak sekitar satu kilometer ke arah timur dari makam Mbah Gitik.
Tetapi, masyarakat setempat meyakini petilasan itu sebagai makam Prabu Tawang Alun. Di makam yang diyakini petilasan Prabu Tawang Alun di Kampug Kedawung, Dusun Krajan, Desa Sraten, warga kembali berdoa dengan membacakan kalimat toyibah.
Selanjutnya, menyantap nasi tumpeng dan takir sewu yang dibawa secara beramai-ramai. “Yang datang itu banyak dari luar desa, semuanya makan tumpeng bersama-sama, dan ini sebagai simbol kebersamaan dan kerukunan antar warga,” cetus Rahman Mulyadi.
Tradisi kirab tumpeng raksasa dan takir sewu itu, merupakan tradisi lama yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat sejak puluhan tahun lalu. Hanya saja, selama ini dilakukan oleh beberapa orang saja. Kegiatan yang juga selamatan kampung itu digelar rutin setiap bulan Suro.
Dan itu wujud melestarikan warisan leluhur. Sebagian besar warga di Kampung Kedawung, Dusun Krajan, Desa Sraten, meyakini tiga makam leluhur itu masih keramat. Tidak hanya bagi warga setempat, lokasi itu juga kerap dikunjungi peziarah dari luar daerah Banyuwangi, terutama selama bulan Suro Ziarah ke makam leluhur itu juga masih sering dilakukan warga setempat jika mempunyai hajat, seperti khitanan dan pernikahan. Dan itu bagian budaya pamit kepada leluhur desa sebelum menggelar hajatan.
Jika tidak pamit atau berziarah di makam leluhur, biasanya selalu ada hambatan. Ada saja, turun hujan dan petir, nasi cepat membusuk, dan macam-macam gangguannya,” ungkap Imam Musari, sesepuh adat setempat. (radar)