Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Dari Buruh Tani Mampu Tundukkan Pasar Seni Bali

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

gatot-dengan-karyanya-banyak-diminati-para-pencinta-lukisan-di-bali-kemarin

DUA rumah bersebelahan yang terletak di RT 2, RW 3, Dusun Sidomukti, Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, itu terlihat ada lukisan Naruto dan singa dengan warna mencolok. Di tempat itu, juga banyak tumpukan sepanram  (kayu segi empat untuk membentangkan kain) dan gulungan  kain kanvas.

Saat Jawa Pos Radar Genteng datang ke rumah itu kemarin siang (7/10), pemilik rumah, Gatot Suprobo, tampak sibuk melakukan persiapan produksi. “Ayo masuk,” katanya saat melihat wartawan koran ini datang sambil mengajak ke ruang tamu yang berhias lukisan pixel  penari legong.

Gatot Suprobo dikenal sebagai  pelukis pointilis. Selama ini karyanya telah tersebar di sejumlah  pasar seni di Bali. “Saya itu membuat lukisan awalnya dari dorongan memperbaiki taraf hidup,” kata suami Ririn Suharini, 37, itu. Sebelum menekuni dunia lukis,  Gatot bekerja sebagai buruh tani. Pekerjaan itu dilakoni cukup lama dengan hasil yang pas-pasan.

“Saya kalau ke kebun cabai  itu berangkat malam sampai pagi, dan upahnya tidak seberapa,” ujarnya. Melukis itu bermula pada awal tahun 2011. Saat itu dia memutuskan pergi ke Bali untuk mencari pengalaman dan belajar keterampilan. “Saya terdampar di daerah Sukawati,” ungkapnya.

Tanpa pengalaman dan keterampilan, di daerah yang  dikenal sebagai sentra lukisan itu Gatot mulai belajar melukis dari teman sekamarnya. “Saya cepat bisa, melukis itu ternyata gampang,” katanya. Selama berada di daerah Sukowati itu, Gatot mengaku banyak pelajaran berharga. Selain bisa belajar melukis, juga dapat mengetahui pangsa pasar di Bali.

“Untuk bisa memenuhi pangsa pasar, harus masuk ke pasar seni  yang terjangkau,” ujarnya. Dari pengalaman dan pelajaran  itu, bapak satu anak itu belajar mandiri dengan melukis pointilis.  Hasilnya ternyata cukup menjanjikan untuk kebutuhan keluarga kecilnya.

Dalam setiap pengiriman, dia mampu mengirim  puluhan lukisan. Lukisan itu  dibanderol mulai Rp 50 ribu hingga Rp 400 ribu. “Sekali kirim  dapat bersih sekitar Rp 2 juta,”  ungkapnya.  Pasar yang terlihat mudah itu  bukan berarti tanpa ada kendala.  Jika bersamaan dengan musim  upacara, bisa dipastikan transaksi  yang dilakukan berjalan lancer  tapi tidak ada uangnya.

“Pembayaran ditunda, kita tidak dapat uang,” cetusnya. Pilihan untuk menekuni seni lukis dalam memenuhi kehidupan, banyak dipengaruhi para seniman yang ada di lingkungannya. Mereka itu banyak yang  mempengaruhi pola pikir dan   arah hidupnya.

“Saya ini dulu buruh tani dan kini belajar melukis,” jelasnya. Ilmu seni itu banyak lahir dari bakat sejak kecil. Tetapi, baginya  semua itu bisa dikalahkan dengan belajar dan latihan yang serius.  “Buktinya ya saya, melukis bukan  bakat sejak kecil, tapi mau  belajar,” ungkapnya.

Dari pengalaman belajar melukis itu, dia memiliki keinginan agar pemuda di sekitar rumahnya yang memiliki hobi menggambar bisa mengembangkan lagi. “Saya kok kepikiran di sini jadi sentra seni, anak-anak kalau bisa ya bagus,” harapnya. Keberadaan pelukis seperti  Gatot itu diakui oleh Beny Lukman, pelukis Banyuwangi yang masih memiliki hubungan kerabat  dengan Gatot. Menurutnya, keterampilan melukis seperti piontilis itu bisa dipelajari dengan cepat.

“Enam bulan bisa mahir,” katanya.  Meski memakai metode titik-titik pada lukisan, Beny menyampaikan yang dilakukan itu bisa disebut pelaku seni lukis. Itu tidak lepas dari cara pembuatan yang diawali dengan membuat background lukisan.

“Titik titik  itu kan metodenya, sebelum itu mereka kan ya melukis dulu,”  terangnya. Kesulitan pengembangan seni lukis di Banyuwangi, saat ini ada pada pasar dan bahan baku. Warga Banyuwangi masih belum bisa dibilang konsumtif untuk   lukisan. Selain itu, harga bahan baku juga sangat jauh berbeda  dengan di Bali.

“Kalau cat minyak  mungkin di sini ada, tapi bahan seperti spanram, cat untuk pointilis ini adanya hanya di Bali, bila di Banyuwangi ada harganya mahal  sekali,” ungkapnya. (radar))