Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

DARI PADI BIERGESER KE BUAH NAGA

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

beralih-ke-b.nagaTEGALDLIMO – Kabupaten Banyuwangi sebagai salah satu daerah lumbung padi Jawa Timur kini mulai terancam. Para petani di daerah Banyuwangi Selatan kini semakin banyak yang tidak bertani padi.

Para petani yang mulai meninggalkan padi itu tersebar di beberapa daerah, seperti Kecamatan Srono, Purwoharjo, Tegaldlimo, Cluring, Bangorejo, Siliragung, dan Pesanggaran.

“Sering kesulitan mendapat air, cetus lndiarto, 48, petani asal Desa wringin Pitu, Kecamatan Tegaldlimo. Menurut Indiarto, saat ini persawahan di Kecamatan Tegaldlimo yang kesulitan mendapatkan air selama musim kemarau beralih menanam jeruk dan buah naga.

Pertimbangannya, selain tidak butuh air banyak, hasilnya juga lebih menjanjikan. “Kalau tanam jeruk atau buah naga, tidak punya uang bisa disewakan,” dalihnya. lndiarto menyebut, di Desa Wringin Pitu saja terdapat puluhan hektare sawah yang ditanami buah naga dan jeruk.

Selain itu, petani juga banyak yang menanam semangka dan lombok. “Yang menanam padi sedikit,” katanya. Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan (Dispertahutbun) Banyuwangi, lkrori Hudanto, mengatakan belum mengetahui data secara pasti berapa lahan persawahan yang beralih dari padi ke buah naga dan jeruk.

“Kami masih melakukan pendataan secara berkala, jadi belum tahu angka persisnya,” ujarnya. Meski begitu, lkrori mengaku para petani di Banyuwangi Selatan banyak yang menanam buah naga dan jeruk disawahnya. Padahal sebelumnya, persawahan itu di tanami padi.

“Ini sangat mempengaruhi hasil produksi tanaman pangan di tahun 2015,” ujarnya. Hanya saja, jelas dia, untuk mempertahankan Kabupaten Banyuwangi sebagai daerah lumbung padi di Jawa Timur, Dispertahutbun akan terus mendorong petani dengan melakukan beberapa strategi.

Salah satunya meningkatkan Indeks Pertanaman (IP). “Jika sebelumnya dalam setahun itu hanya dua kali tanam padi, dengan IP bisa lebih dari itu,” cetusnya. Untuk meningkatkan IP tersebut, jelas dia, pihaknya sudah memberikan bantuan hand tractor dari pemerintah pusat kepada para petani.

Harapannya, ketika sudah panen, tanpa menunggu lama petani bisa langsung mengolah lahannya kembali. “Kalau dikelola secara tradisional seperti menggunakan ternak, itu menunggunya lama,” terangnya. Selain itu, jelas dia, penggarapan sawah menggunakan teknologi yakni menggunakan fasilitas mesin tanam padi yang lebih cepat dan pemilihan bibit unggul.

“Dulu bibit padi bisa ditanam antara umur 25 hari, sekarang sudah ada bibit padi yang umurnya 15 hari siap tanam,” ujarnya. Ikrori berharap pada petani untuk bercocok tanam sesuai yang sudah diajarkan oleh Kementerian Pertanian RI, yakni dengan penggunaan pupuk berimbang, pemupukan organik dan penggunaan peralatan pasca panen.

” Kalau sekarang masih digebros banyak bulir padi yang hilang, tapi kalau menggunakan alat pasca panen, bisa lebih maksimal, jelasnya. Bukan hanya itu, Ikrori akan terus mendorong petani agar meningkatkan produktvitas hasil tanaman pangan per hektare.

Saat ini, rata-rata per hektare itu hanya menghasilkan panen padi 6,5 ton. Dengan optimalisasi lahan bisa panen hingga tujuh sampai 10 ton per hektate. “Kami akan minta tolong pada PPL (penyuluh pertanian lapangan) dan babinsa yang ada di desa.

Lahan yang lama didiamkan bisa ditanami tanaman pangan,” katanya. Alih jenis tanaman yang banyak dilakukan oleh para petani, Itu menjadi tantangan tersendiri bagi Dispertahutbun untuk bisa menyelesaikan persoalan tersebut.

Namun demikian, sampai saat ini Banyuwangi masih daerah yang surplus pangan di Jawa Timur. “Hasil produksi tanaman pangan kita tahun 2014 surplus 250 ribu ton, dan dikirim ke luar daerah. Banyuwangi tidak lagi swasembada pangan, tetapi sudah surplus pangan.” ungkapnya. (radar)