Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Jeritan Petani Padi dan Cabai di Banyuwangi Selatan

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

jeritanPupuk Masih Langka, Dua Musim Panen Jeblok

BINGUNG tapi tak bisa berbuat banyak. Itulah yang dirasakan para petani padi di Srono, Tegaldlimo, Bangorejo, Gambiran, dan Glenmore selama hampir dua tahun ini menghadapi kelangkaan pupuk urea. Hampir semua kios pupuk di beberapa kecamatan tersebut selalu tak menyediakan pupuk urea ketika tanaman padi mereka sudah waktunya dipupuk.

Padahal belakangan ini tanaman padi yang sebelumnya banyak diserang hama tikus dan wereng sudah mulai bagus. Sehingga ada harapan jika tanaman mereka pada musim tanam kali ini bakal membuahkan hasil yang maksimal. Namun, hilangnya hama wereng dan tikus tersebut ternyata tak mengurangi penderitaan petani padi selama bertahun-tahun. Sebab, hilang nya kedua hama tersebut ternyata juga dibarengi dengan hilangnya pupuk urea di sejumlah kios. 

Menghadapi persoalan seperti ini, para petani tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya diam menunggu pemilik kios yang menjanjikan jika kiriman pupuk urea datang akan diberitahu via telepon. Anehnya, ketika kiriman pupuk urea tersebut datang, ternyata pemilik kios juga tak berani menghubungi semua petani yang sebelumnya sudah terlanjur memesan tersebut.Alasan pemilik kios juga masuk akal, yaitu jatah pengiriman dari pihak distributor ternyata juga dikurangi.

“Makanya begitu pupuk datang langsung habis, saya nggak kebagian,” kata Hamdan, petani padi asal Desa Sumbersari, Kecamatan Srono. Merasa tak kebagian pupuk urea, Hamdan tak bisa berbuat banyak kecuali hanya diam menunggu pengiriman pupuk urea akan datang lagi. Di tengah masa menunggu tersebut, dia juga cemas karena tanaman padi yang seharusnya dipupuk terancam jelek alias kurang subur. 

Sehingga meski tak terserang hama tikus dan wereng, hasil panen padi akibat kekurangan pupuk urea tersebut bakal tak sesuai harapan. “Karena tanaman padinya akan kurus,” tuturnya. Mengapa tidak beralih ke pupuk organik? Menurutnya, lahan sawah di Desa Sumbersari, sangat tidak cocok menggunakan pupuk dari kotoran hewan tersebut. “Karena kandungan organik di sini sudah sangat tinggi, kalau dipupuk pakai organik lahannya justru njebeber,’’ jelasnya.

Hal sama juga diungkapkan oleh Jaman, petani padi asal Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore. Setiap kali memupuk tanaman padinya, dia selalu kesulitan mendapatkan pupuk urea. Parahnya, semua kios pertanian di Glenmore ternyata juga kompak tidak memiliki stok pupuk tersebut, dengan alasan yang sama, yaitu pengiriman dari distributor berkurang. “Susah kalau begini. Pemerintah masak diam saja, petani kok di sio-sio,” keluhnya.  

Menghadapi kenyataan yang dialami tersebut. Sementara itu, keluhan tak jauh berbeda juga dialami para petani cabai di Banyuwangi Selatan. Sudah dua musim panen ini hasil tanaman mereka sangat tidak memuaskan. Para petani cabai tersebut mengeluhkan harga yang semakin tidak bersahabat. Saat ini harga cabai di tingkat petani masih berkisar di angka Rp. 2.000 per kilogramnya. Padahal untuk harga normal atau petani cabai bisa mengembalikan modal biaya perawatan harusnya harganya Rp 7.000 per kilogramnya.

Karena merasa rugi, sebagian dari petani cabai tersebut lebih memilih membiarkan tanamannya begitu saja tanpa melanjutkan perawatan atau memanennya. “Kalau diteruskan dirawat, biayanya makin membengkak dan semakin rugi,” tutur Yudianto, 28, petani cabe asal Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore. Berbeda dengan Asrul, 22, petani cabai asal Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran. Meski harga cabai kini kurang bersahabat, dia tetap berusaha merawatnya meski dengan biaya seadanya.  

Dia mengakui, saat ini para petani cabai seperti dirinya cukup dilematis. Sebab bila tanaman terus dirawat, harga obat sangat mahal sedangkan harga cabai sangat murah. Di tengah suasana yang dilematis tersebut, Asrul berharap, suatu saat harga cabai akan menguntungkan para petani termasuk dirinya. Sehingga dia memilih tetap merawat tanaman cabenya hingga kemarin. “Idealnya harga cabai memang Rp 10 ribu per kilogramnya, baru petani bisa hasil. Tapi bagaimana lagi, sekarang harganya masih segitu,” keluhnya.

Sementara itu, sikap diam pemerintah dan kelompok tani melihat kelangkaan pupuk dan anjloknya harga cabai tersebut mengundang keprihatinan para petani itu sendiri. Mereka merasa pemerintah dan para pihak terkait selalu mempersoalkan ketika harga cabai mahal, namun diam seribu bahasa ketika harga cabai merugikan petani. “Jangan hanya teriak-teriak ketika harga cabai mahal, sekarang harga cabai murah dan petani nangis, semuanya diam,” protes Teguh, 36, petani cabe asal Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore. 

Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Suyitno mengaku sudah menyampaikan persoalan keluhan para petani terkait kebutuhan pupuk urea tersebut ke Dinas Pertanian Banyuwangi hingga ke Kementerian Pertanian di Jakarta. Sayangnya, apa yang dia sampaikan tersebut ternyata belum mendapat respons dari pemerintah daerah maupun pusat. “Mungkin karena yang menyampaikan hanya beberapa orang HKTI saja, Mas. Jadi kurang diperhatikan.

Mungkin kalau ramai-ramai dengan kelompok tani yang lain baru direspons,” ujarnya. Selaku Sekretaris HKTI Suyitno mengaku sangat memahami dengan keluhan para petani terkait kelangkaan pupuk urea dan murahnya harga cabai di tingkat petani. Dia juga menandaskan, bahwa berbagai keluhan tersebut sudah disampaikan ke pihak terkait, namun belum mendapat respons. “Saya nggak tahu stok urea di tingkat distributor setelah Lebaran tinggal berapa ton, padahal kebutuhan di tingkat petani saat ini sangat banyak,” ujarnya. (radar)