Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Kalau Lama Bisa Ditinggal, Pulangnya Tinggal Telepon

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

klauAlternatif jujugan wisata di Banyuwangi semakin beragam. Bagi Anda yang punya nyali besar, tidak ada salahnya menikmati perjalanan menyeberangi Selat Bali dengan perahu wisata yang mangkal di kawasan Pantai Klopoan, Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo.  MENDENGAR nama Klopoan, mungkin pikiran Anda akan tertuju pada sebuah lokalisasi prostitusi yang berlokasi di wilayah Kecamatan Sempu.

Maklum, akhir-akhir ini lokalisasi menjadi buah bibir menyusul bergulirnya wacana penutupan seluruh tempat “wisata lendir” di Bumi Blambangan. Namun, topik tulisan ini sama sekali tidak berkaitan dengan prostitusi. Meski namanya mirip, Klopoan yang dimaksud ini adalah salah satu tempat wisata bahari yang berlokasi di sebelah utara Pantai Watudodol. Lokasi pantai ini masuk Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo.

Ya, akhir-akhir ini geliat pariwisata di sekitar pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa, itu semakin terasa. Nyaris setiap hari kawasan Pantai Klopoan ramai dikunjungi warga. Terlebih di akhir pekan. Ratusan wisatawan yang didominasi warga lokal Banyuwangi dan sekitarnya selalu memadati tempat wisata yang satu ini. Potensi yang cukup besar ini ternyata mampu dimanfaatkan dengan baik oleh warga sekitar.

Ada yang mendirikan warung nasi, bakso, atau es kelapa mudaAda juga yang berjualan kacang, jagung bakar, sampai kacamata dengan cara berkeliling dengan sepeda pancal maupun berjalan kaki. Tidak hanya itu, sebagian warga yang lain mencoba mengais rezeki dengan cara menyediakan jasa perahu wisata. Perahu wisata tersebut merupakan perahu nelayan yang sudah dimodifi kasi dengan dilengkapi semacam tenda dan tempat duduk berjejer.

Alhasil, para penumpang tak perlu khawatir kulitnya gosong terbakar sinar matahari.Sutikno, 35, seorang joki perahu wisata  mengatakan, dia hanya berani mengangkut penumpang maksimal 15 orang dalam sekali jalan. “Itu kami lakukan dengan pertimbangan keselamatan penumpang,” ujarnya. Dikatakan, meskipun banyak pengunjung yang hendak menumpang perahu wisata tersebut, Sutikno tidak berani mengangkut penumpang melebihi kapasitas yang sudah ditentukan. “Kalau yang ingin naik perahu 20 orang, saya angkut dua kali saja.

Biarlah biaya bahan bakar perahu menjadi lebih tinggi, yang penting sama-sama selamat,” tuturnya. Perahu wisata yang mangkal di  kawasan Pantai Klopoan melayani dua rute berbeda. Selain melayani pengunjung yang hanya ingin berputar-putar di sekitar bibir pantai, perahu kecil tersebut juga melayani penumpang yang hendak berkunjung ke Bali. Tentu saja tarif kedua rute tersebut berbeda. Untuk rute berkeliling bibir pantai sejauh sekitar 500 meter pergi pulang (PP), penumpang hanya perlu mengeluarkan kocek Rp 5.000 per orang.

Sedangkan untuk rute menyeberangi Selat Bali, harganya jauh lebih mahal dan batas maksimal penumpang dalam sekali  jalan hanya delapan orang. “Kalau ingin ke menyeberang ke Bali, tarifnya sebesar Rp 200 ribu pulang pergi,” kata dia. Karena tarifnya lebih mahal, tentu saja servis yang diberikan berbeda dibandingkan penumpang yang hanya berkeliling sekitar Pantai Klopoan. Penumpang yang menyeberangi Selat Bali bisa minta waktu untuk berlama-lama berada di Pulau Dewata. “Kalau ingin lama berada di Bali Barat, silakan.

Bisa saya tinggal dulu untuk mencari penumpang lain. Nanti kalau mau kembali ke sini (Pantai Klopoan), tinggal telepon saya, nanti saya jemput,” paparnya. Saat bekerja, Sutikno dibantu oleh seorang putranya, yakni Aris, 19, yang berperan sebagai kernet sekaligus sopir cadangan perahu wisata tersebut. Bapak-anak, ini hanya beroperasi melayani penumpang perahu wisata pada hari Minggu, hari besar nasional atau pun hari besar keagamaan. Aris mengatakan, setelah dikurangi biaya bensin sebesar Rp 25 ribu, pendapatan perahu wisata tersebut dibagi rata kepada tiga orang, yakni kepada dirinya, Sutikno, dan pemilik perahu.

“Kalau penumpang banyak, penghasilan kami bisa mencapai Rp 50 ribu per orang. Lumayan, bisa menambah penghasilan,” ujar remaja yang sehari-hari bekerja sebagai kuli batu mendampingi sang ayah yang bekerja sebagai tukang batu tersebut. Menurut Aris, kesulitan terbesar menjadi yang dihadapi saat bekerja sebagai kernet atau sopir perahu layar adalah ombak tinggi. Nah saat ombak tinggi melanda, Aris hanya bisa memarkir perahu tersebut di sekitar pantai. “Dalam kondisi normal, ombak besar biasanya terjadi antara pukul 12.00 sampai 14.00. Pada jam-jam tersebut kami rehat bekerja,” pungkasnya. (radar)