Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Kebo-keboan Pelestarian Budaya Agraris

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

kebo-BANYUWANGI – Budaya agraris yang cukup kental mewarnai kehidupan masyarakat Banyuwangi. Setidaknya itu terbukti dari predikat yang disandang kabupaten berjuluk Sunrise of Java ini sebagai lumbung padi di Jatim lantaran setiap tahun mengalami surplus beras hingga 250 ribu ton. Budaya agraris masyarakat Bumi Blambangan itu kian terasa tatkala Festival Kebo-keboan digelar Minggu lalu (2/11). Kali ini ritual masyarakat lokal itu digelar di dua desa di hari yang sama, yakni di Desa Aliyan. Rogojampi, dan Alasmalang. Singojuruh.

Di Aliyan, tradisi di mana sejumlah orang di dandani seperti kerbau dan seluruh tubuhnya dilumuri jelaga hitam itu dinamakan Keboan. Di Alasmalang tradisi itu dikenal dengan sebutan Kebo-keboan. Kebo dalam bahasa setempat berani kerbau. Ritual itu adalah bentuk tradisi permohonan kepada Tuhan agar sawah masyarakat subur dan panen berlangsung sukses. Dalam ritus itu, sejumlah orang di dandani seperti kerbau yang merupakan simbolisasi mitra petani di sawah untuk menghalau malapetaka selama musim tanam hingga panen. 

Bupati Abdullah Azwar Anas mengatakan, Kebo-keboan sejak lama telah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat lokal Banyuwangi. “Kerbau bukan ternak pada umumnya yang dikonsumsi dagingnya. Tapi kerbau adalah mitra petani untuk menggarap sawah dan berupaya mendapatkan kemakmuran,” tuturnya saat menghadiri Festival Kebo-keboan. Konon, ritual Kebo-keboan yang digelar setiap 10 Muharam itu muncul sekitar abad ke-18 Masehi. Saat itu, masyarakat setempat di landa pageblug (wabah).

Salah seorang sesepuh desa saat itu, buyut Karti, pun melakukan ritual selamatan dan menganjurkan warga desa membajak sawah menggunakan kerbau. Dan pageblugpun hilang. Ritual Kebo-keboan ini diawali dengan kenduri desa yang digelar sehari sebelumnya. ‘Warga bergotong royong mendirikan se- jumlah gapura dari janur yang digantungi hasil bumi di sepanjang jalan desa sebagai perlambang kesuburan dan kesejahteraan. Esok paginya, warga pun menggelar selamatan di empat penjuru Desa yang di lanjutkan dengan ider bumi. 

Para petani yang di dandani kerbau lalu berkeliling desa mengikuti empat penjuru mata angin. Saat berkeliling desa inilah, para“kerbau” itu melakukan ritual layaknya siklus bercocok tanam, mulai dari membajak sawah, mengairi, hingga menabur benih padi. Para petani itu diyakini kerasukan roh gaib. Mereka berjalan seperti kerbau yang sedang membajak sawah. Mereka juga berkubang bergumul di lumpur, dan bergulung-gulung di sepanjang jalan yang dilewati. Saat berjalan pun di pundak mereka terpasang peralatan membajak. Persis kerbau.

Atraksi ritual Kebo-keboan ini sangat menarik warga. Bukan sekadar melihat atraksi, sejumlah warga yang datang ke lokasi untuk mendapatkan berkah dari benih padi yang sengaja ditebarkan. Seperti yang dilakukan Mbah Sapurat (56 tahun) yang saat itu berebut benih padi di Desa Aliyan yang tercecer di jalan meski harus berjuang melawan “kerbau. “Tiap tahun saya pasti ikut berebut benih padi yang di tebar di acara saya tanam lagi di sawah. 

Dan Alhamdulillah, panen saya pun hasilnya juga bagus dan melimpah,” ujar Sapurat. Tradisi Kebo-keboan sejak tahun 2014 ini telah masuk dalam agenda Banyuwangi Festival yang merupakan agenda pariwisata daerah yang berisi beragam acara wisata. “Dengan masuk Banyuwangi Festisal secara tidak langsung memaksa kami untuk bisa menampilkan suatu atraksi budaya lokal yang berkelas. Misal dengan perbaikan manajemen acara ini sebagai upaya kami agar budaya lokal terus membumi, selain tentunya rakyatpun bisa bangga,” pungkas Anas.

Festival Kebo-keboan, imbuh Peksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) M. Yanuarto Bramuda juga menjadi bentuk pelestarian budaya agraris masyarakat. “Di Banyuwangi banyak model agra tourism yang memadukan pertanian dan wisata. Misalnya, wisatawan bisa meminta paket wisata ilmu menanam padi disawah, atau ilmu melihat memetik kopi hingga cara mengorengnya,” pungkasnya. (radar)