Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Kerap Mendengar Suara Gaib Saat Bermalam di Hutan

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Lilik Supiyati tengah memproses kolang-kaling di rumahnya Desa Sumberarum, Kecamatan Songgon.

SELAIN tugas memasak, Lilik Supiyati juga memanfaatkan dapur sederhana itu untuk memproses kolang-kaling yang dia dapatkan dari hutan belantara, Lereng Gunung Raung. Setiap hari, dia harus memproses kolang-kaling hingga puluhan kilogram. Tangan Lilik terlihat terampil mengupas sisa-sisa kulit kolang-kaling yang masih ada.

Setelah itu, Lilik menampung dalam sebuah ember besar. Selanjutnya kolang-kaling itu ditimbun dalam tong besar dan dijual ke pasar. Hari-hari sebagai pemburu kolang-kaling, selalu dilewati dengan penuh suka-duka. Ketika harga jebluk, Lilik tetap bertahan dan memilih untuk menekuni pekerjaan itu sebagai gantungan hidupnya. Dia pantang menyerah meski harganya sempat jatuh.

Wanita berusia 31 tahun itu sudah cukup lama bergelut dalam pencarian kolang-kaling di hutan belantara. Semenjak menikah tahun 2004 silam, dia sudah mengais rezeki dengan mencari kolang-kaling di hutan. “Dari dulu sampai anak saya besar sekarang ini,” ujarnya ditemui di kediamannya, Desa Sumberarum, Kecamatan Songgon, kemarin.

Ya, Lilik dikenal warga sekitar sebagai wanita yang pemberani. Dia sama sekali tidak merasa takut ketika sering menginap di hutan. “Sudah biasa bermalam di hutan,” kata istri Arifin, 31 itu. Terkadang dia mendengar suara-suara gaib ketika bermalam di hutan. Tapi, dia tetap tidak peduli dengan suara-suara gaib pada tengah malam itu.

“Suara seperti ada orkes dangdut, malam-malam di hutan mana ada dangdutan. Saya biasa saja,” ungkapnya.

Nyali dia semakin bertambah ketika mengenakan pakaian yang lusuh selama berada di hutan. Sebaliknya, justru dia malah merasa kurang bernyali alias merasa takut ketika mengenakan pakaian yang tapi.

“Kalau pakaian jelek di hutan seperti enggak ada rasa takut. Tapi kalau pakaian yang bagus, saya malah punya rasa takut dalam hati,” ujarnya bercerita. Sebetulnya, Lilik tidak sendiri dalam mencari kolang-kaling. Dia juga ditemani suaminya.

“Suami saya yang memanjat dan memetik kolang-kaling. Saya membantu ketika sudah kolang-Maling berhasil diunduh,” bebernya. Usai kolang-kaling mentah dipetik, Lilik dan suaminya menyiapkan kayu bakar. Sebab, kayu-kayu tersebut untuk membakar kolang-kaling yang masih mentah.

“Setelah dibakar, kita pentungi untuk memisahkan kulit dan isi kolang-kalingnya,” ulasnya. Kolang-kaling mentah sengaja dibakar terlebih dulu untuk mempermudah mengambil isinya ketika ditumbuk. Semua proses tersebut dilakukan dalam waktu yang tidak singkat. “Biasanya sampai 3 jam,” sebutnya.

Karena proses kolang-kaling mentah membutuhkan waktu, maka acap kali Lilik dan suaminya menginap di hutan. Ketika di hutan, dia hanya membuat gubuk kecil. Selama menginap, dia selalu membawa bekal beras dan aneka bumbu untuk dimasak.

“Malam ini tidur di hutan, besok tidur di rumah, begitu seterusnya,” ucapnya. Mencari kolang-kaling di hutan itu memang menguras energi. Ketika nasib lagi mujur, pohon aren yang dicari sedang banyak kolang-kaling. ”Tapi kalau pas sulit, masih mencari dulu pohon yang banyak buahnya,” ceritanya.

Kemarin, Lilik Supiyati kebetulan tengah berada dirumahnya. Dia tidak ikut suaminya mencari kolang-kaling di hutan. Itu karena, suaminya mengajak saudaranya. “Tugas saya membersihkan dan menjual di pasar,” katanya.

Kolang-kaling itu dipasarkan di pasar Gendoh, Kecamatan Sempu. Setiap hari, Lilik pergi ke pasar tersebut. “Berangkat pukul 02.00, pulangnya pagi. Kandang-kadang saya mengajak anak ke pasar,” tukasnya.

Rata-rata, Lilik mampu menjual antara 40 sampai 50 kilogram setiap hari. Pada momen Ramadan sekarang jualan kolang-kaling cukup menguntungkan. “Harganya bagus, sekarang Rp 12 ribu per kilogram. Kalau eceran kadang dijual Rp 14 ribu perkilogram,” tandasnya. (radar)