Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Mahwah, 55, Pembuat Precet Ramadan Asal Desa Gitik, Rogojampi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Mahwah,-55,-mencetak-adonan-tepung-beras-menjadi-precet-di-dapur-rumahnya-Dusun-Gumukrejo,-Desa-Gitik,-Kecamatan-Rogojampi,-kemarin

MENU kudapan untuk berbuka puasa yang paling khas dan banyak diburu selama Ramadan di Banyuwangi, adalah  precet atau patola. Jajanan satu itu hanya diproduksi selama Ramadan. Salah satu pembuat kue khas itu adalah Mahwah,  56, asal Dusun Gumukrejo, Desa Gitik, Kecamatan Rogojampi.

Usianya sudah tidak muda lagi. Seluruh  rambutnya telah memutih. Kulitnya  juga tampak keriput. Kedua lengan nenek paro baya itu memegang alat cetakan dari kuningan. Di depan tempatnya ber diri ada papan kayu yang diletakkan miring.

Tepat di atas papan kayu itu ada adonan berwarna putih yang terus digilas menggunakan cetakan yang dipegang erat dengan sedikit ditekan.  Dari dalam cetakan itulah, terbentuk  adonan keriting mirip kerupuk. Jika  adonan dalam cetakan itu telah penuh, baru diangkat dan dipindahkan ke atas  daun pisang yang ada di sampingnya.

Jika jumlah lembar daun sudah terkumpul 10 adonan precet, dipindahkan dan  ditutup menggunakan plastik.  Lembar daun yang sudah tertata precet, satu per satu dimasukkan ke dalam dandang (alat dapur khas Oseng) hingga beberapa menit sampai permukaan adonan benar-benar  masak.

“Setiap tahun saya membuat precet,” cetus Mawah yang didampingi suaminya, Sudiyo, 57.  Tempatnya memasak jajan khas Ramadan  di dapur rumahnya, itu tidak terlalu  luas. Ukurannya hanya 2,5 meter kali empat meter. Dapur rumahnya itu, beratap  asbes dengan dinding anyaman bambu  (gedheg).

Di sebelah kiri pintu masuk dapur,  ada meja dari potongan bilah bambu dengan ukuran 200 cm x 75 cm. Di meja mirip ranjang itulah, Mah wah meletakkan adonan precet yang sudah selesai dicetak  sebelum dikukus. Tungku tradisional dari susunan batu bata dan tanah liat yang berada di sudut dapur sebelah timur, yang dibuat  memasak precet.

Tungku itu mampu menampung dua dandang sekaligus. Untuk bahan bakar yang digunakan, masih menggunakan kayu bakar. “Kalau pakai gas elpiji takut meledak, pakai tungku ini saja mudah dan murah,” ujar Mahwah.

Membuat kudapan precet atau patola,  bukan pekerjaan baru bagi ibu dua anak itu. Sejak masih berumur 20 tahun, sudah membuat makanan khas ini. Ibu kandungnya, almarhumah Mahanah, juga pembuat precet. Selain precet, ibunya juga mewarisi  keterampilan membuat orog-orog, puli,  puthu, dan jajan khas lain.

“Semua cetakan juga masih utuh dan terjaga dengan  baik,” katanya. Dari sejumlah cetakan jajanan yang dimiliki, cetakan kue precet atau patola yang paling istimewa dan dianggap paling berharga. Sebab, cetakan terbuat  dari kuningan dan kini juga sudah langka di pasaran.

“Sekarang yang ada hanya dari bahan besi atau aluminium biasa,” terangnya.  Bahan yang digunakan untuk membuat precet itu ada dua macam, yakni pisang dan tepung beras.  Jika precet pisang, dipilih jenis pisang gepok. Untuk precet tepung beras, agar biaya lebih sedikit  menggunakan beras kualitas super untuk dijadikan  tepung beras, dengan cara direndam dan ditiriskan lalu diselep di mesin penggilingan.

“Kalau beras  jatah (raskin) dijadikan tepung beras, baunya apek, hasil precetnya juga bau dan tidak enak,” jelasnya. Dalam membuat precet ini, Mahwah bisanya memulai pukul 09.00 hingga pukul 16.00. Dalam sehari, mampu memproduksi hingga tujuh kilogram tepung beras precet dengan tiga warna pilihan,  yakni putih, merah, dan hijau.

Pewarnaan itu, dilakukan untuk menggugah selera para penikmat kudapan menu buka puasa. Dalam memproduksi, nenek itu  dibantu Sudiyo, suaminya yang selalu setia  mendampingi selama memasak.  Satu lembar daun pisang berisi 10 biji kue precet,  oleh Mahwah dijual dengan harga Rp 4 ribu.

Untuk  menjual kudapan menu buka puasa itu, tidak terlalu repot. Sebab, sudah ada pedagang yang siap menjual di pasar. “Pokoknya saya hanya membuat, saya antar ke pasar dan dibayar kontan sesuai jumlah kue yang diambil,” imbuh nenek tiga cucu ini sambil   menyeka keringat yang mengalir di dahinya.

Seharian memproduksi kudapan untuk buka puasa itu, tak banyak hasil yang diperoleh Mahwah. Dalam kerja sehari, mendapat hasil sekitar Rp 50 ribu. Uang  sebanyak itu, bagi sudah lebih dari cukup untuk sekadar makan dan minum menyambung hidup  bersama suaminya. “Yang penting bisa untuk makan  hari ini, besok cari lagi,” ungkapnya. (radar)