Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Mengolah Limbah Lebih Hemat dengan Eceng Gondok

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

mengolahGelar doktor yang diraih Kepala Dinas PU Pengairan Guntur Priambodo merupakan gelar doktor pertama bidang eksak di lingkungan Pemkab Banyuwangi. Untuk meraih gelar tersebut, Guntur harus rela membagi waktu dinasnya sebagai pejabat daerah untuk melakukan penelitian selama dua tahun.

HARI Minggu lalu (17/3) Guntur resmi mendapat gelar doktor bidang keahlian teknik lingkungan dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Gelar doktor itu berhasil diraih setelah dia menuntaskan penelitian tentang “Sistem Detoksifi kasi Air Limbah Industri Perikanan di Kota Pantai Muncar, Kabupaten Banyuwangi”. Dalam ujian terbuka, Guntur berhasil mempertahankan hasil penelitiannya yang dilakukan selama dua tahun. Pendidikan S3 di tempuh Guntur dalam waktu singkat, yakni hanya 3,5 tahun.

Waktu 1,5 tahun pertama digunakan Guntur untuk merampungkan teori di kampus. Dua tahun sisanya digunakan melakukan penelitian. Untuk merampungkan pen didikan doktor tersebut, Guntur hanya butuh waktu tujuh semester. Dalam tujuh semester itu, Guntur masih mendapat tambahan SKS di banding teman seangkatannya. Jika mahasiswa lain hanya memiliki beban 12 SKS, beban SKS Guntur ditambah jadi 24 SKS. Penambahan SKS itu karena pen didikan S2 Guntur tidak linier dengan pendidikan doktornya.

Pendidikan S1 Guntur adalah program teknik lingkungan di kampus yang sama. Sementara itu, program S2 yang ditempuhnya adalah manajemen. Walaupun mendapat tambahan SKS, tapi Guntur berhasil menyelesaikan study dengan cukup memuaskan. Indeks prestasi (IP) yang berhasil diukir Guntur nyaris sempurna, yakni 3,88. Penelitian yang dilakukan Guntur untuk mengetahui konfigurasi dan efisiensi sistem detoksifikasi air limbah perikanan dalam sanitasi aquakultur tanpa efek negatif terhadap hewan dan tumbuhan air.

Penelitian dilakukan tiga tahap. Pertama, me neliti masalah area industri penghasil limbah. Kedua, kajian kolam biotoksifi kasi meng gunakan benur udang windu (air laut) dan daphnia (air tawar). Tahap ketiga, pelaksanaan pilot plant fitotoksifi kasi atau pengolahan air limbah menggunakan tumbuhan eceng gondok dan kajian efeknya terhadap ikan kerapu. Hasil penelitian itu bisa menjadi pilihan dalam menyelesaikan masalah sanitasi air limbah yang sesuai industri perikanan.

Target lain, bisa menjadi percontohan sanitasi yang bisa diterapkan masyarakat dalam skala kecil maupun industri dalam skala besar. Target terakhir yang ingin diraih, semoga penelitian itu menjadi landasan ilmiah bagi kebijakan pembangunan industri perikanan, terutama di Muncar. Ha sil akhir penelitian, pengolahan lim bah menggunakan sistem detoksifi kasi menggu nakan kolam eceng gondok lebih unggul di banding sistem lain.

 Hasil penelitian menunjukkan, kolam sedimentasi dan aerasi menjadi pengolahan pendahuluan yang mampu menurunkan secara signifi kan jumlah padatan ter suspensi (TSS) hingga 60 persen dan ae rasi zat organik terurai biologis (BOD) hingga 79 persen, COD 75 persen. Sistem lain, seperti sistem ultraviolet (UV) dan sistem membran tidak mampu mengurai COD. “Sistem detoksifi kasi mampu mengurai COD hingga 75 persen. Sistem mi kroba hanya mampu 50 persen,” ungkap Gun tur.

Sistem kolam eceng gondok setara dengan sistem lain. Bahkan, sistem ini lebih unggul untuk COD, N, dan P yang tidak bisa diurai sistem lain. Selain itu, prosesnya lebih sederhana, alamiah, dan lebih murah dibanding sistem lain. Capital cost atau biaya modal pembuatan pengolahan limbah menggunakan sistem detoksifikasi jauh lebih murah dibanding sistem lain. Pembuatan kolam eceng gondok hanya membutuhkan anggaran Rp 1,5 miliar, sedangkan pengolahan limbah menggunakan sistem filter/member membutuhkan anggaran hingga Rp 3,5 miliar.

Cost pemeliharaan kolam eceng gondok juga jauh lebih hemat dibandingkan sistem lain. Dalam satu tahun, pemeliharaan kolam eceng gondok hanya butuh dana Rp 0,87 miliar. Kalau menggunakan sistem filter, anggaran pemeliharaan mencapai Rp 3 miliar dalam satu tahun. Hanya, kolam eceng gondok membutuhkan lahan lebih luas. Pengolahan limbah menggunakan sistem mem bran membutuhkan lahan hanya 0,8 hektare. Jika menggunakan sistem de toksifikasi, membutuhkan lahan hingga 1,7 hektare.

“Kolam eceng gondok lebih hemat 70 persen dibanding filter atau sistem mem bran,” jelas Guntur. Sistem detoksifi kasi jauh lebih efektif mengurai racun air limbah perikanan (ALP). Sistem detoksifikasi menggunakan ko lam eceng gondok tidak ada efek negatif terhadap pertumbuhan ikan kerapu. “Bahkan, ikan kerapu yang dipelihara dalam kolam ALP yang sudah diolah melalui sistem detoksifi kasi kolam eceng gondok bobotnya bisa bertambah,” jelasnya. Hasil penelitian yang dilakukan Guntur itu menunjukkan bahwa kolam eceng gon dok terbukti mampu menjadi kolam fi totoksifi kasi untuk memperbaiki kualitas air limbah hasil pengolahan kolam se dimentasi dan aerasi.

Kolam eceng gondok juga mampu menurunkan BOD dan COD secara signifikan dari tingkat toksik organik menjadi tingkatan air limbah mudah tidak toksik. “Penemuan saya ini, merupakan penemuan terbaru. Selama ini, belum ada sis tem yang sama seperti yang ditemukan dalam penelitian sistem detoksifikasi,” katanya. Untuk mengaplikasikan hasil penelitian itu, Guntur memberikan rekomendasi agar pemerintah daerah menindaklanjuti hasil penelitiannya itu.

Langkah pertama yang bisa dilakukan pemerintah daerah adalah melakukan feasibility study (FS) hasil penelitian. Guntur mengaku siap membantu mengaplikasikan temuannya tersebut. Tidak hanya Guntur, enam guru besar ITS yang menjadi pembimbingnya saat melakukan penelitian juga menyatakan sanggup membantu mewujudkan hasil penelitiannya itu. “Kami sudah menyiap kan software pengolahan limbah terbaru,” janjinya. (radar)