Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Merayakan Ulang Tahun ke-20 di Kamboja

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

GOOD bye teacher, see you tomorrow, thank you teacher, and good luck for you”.

Begitulah salam dari anak-anak yang kemudian saya kenal sebagai murid ketika usai pelajaran. Masih teringat jelas sekitar 2 bulan yang lalu saya berangkat ke Kamboja untuk exchange experience melalui salah satu organisasi internasional di 110 negara.

Yaitu AIESEC, yang salah satunya berada di Universitas Brawijaya, Malang. Bersama 14 teman lainnya dari berbagai negara seperti Tiongkok, Taiwan, Belanda, Krosow, Spanyol, Bulgaria, dan Prancis; kami menjalani misi sosial sebagai guru yang mengajar anak anak lokal di Kamboja.

Dalam level internasional, Kamboja disebut Kingdom of Cambodia karena menggunakan sistem kerajaan monarki dalam pemerintahannya. Proyek saya berada di provinsi Siem Reap yang merupakan pusat pariwisata dunia dengan keberadaan Angkor Wat, yaitu situs candi dunia yang dilindungi UNESCO.

Sehingga Siem Reap menjadi provinsi dengan biaya hidup termahal dibanding provinsi lain. Saya menemukan tantangan tersendiri karena tidak mudah untuk hidup mandiri di Kamboja dengan budaya Budha Theravada yang sangat kental.

Hal lainnya adalah makanan utama yang kebanyakan olahan mie dengan daging babi, tentu menjadi hal berbeda bagi saya dan menuntut saya untuk cepat beradaptasi. Negara jajahan Prancis ini, memiliki sejarah masa lalu, yang menurut saya, mengerikan.

Rezim Poi Pot atau yang lebih dikenal dengan sebutan Khmer Rouge berimbas pada pendidikan di Kamboja. Masih terlalu banya kanak-anak yang belum mengenal pendidikan salah satunya karena tingkat pendapatan masyarakat yang tergolong sangat rendah.

Sehingga sulit bagi mereka untuk mengantarkan anak-anaknya ke bangku sekolah Menyadari hal tersebut, beberapa masyarakat lokal berinisiatif untuk membangun organisasi sosial. Saat ini terdapat banyak organisasi lokal yang fokus terhadap pengembangan dan masa depan anak-anak Kamboja yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Memiliki jadwal mengajar yang cukup padat, yaitu pukul 8 pagi hingga 6 sore yang terbagi dalam 4 kelas, tidak membuat saya jenuh. Ka laupun lelah karena saya harus mengendarai sepeda sejauh kurang lebih 4 kilometer yang notabene tidak pernah saya lakukan di Indonesia.

Semangat mereka untuk belajar bahasa Inggris sangat saya acungi jem pol. Mengajar selama kurang lebih 1,5 jam un tuk tiap kelas, murid-murid sangat antusias dan aktif mengikuti pelajaran. Saya merasa menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain.

Pengalaman berharga lainnya adalah ketika saya mempresentasikan budaya Indonesia dan Banyuwangi. Sadar sebagai mahasiswa hu bungan internasional, maka saya berperan se bagai duta Indonesia dan Banyuwangi. Terkesima ketika ada beberapa murid yang secara khusus ingin mempelajari bahasa Indonesia, dengan senang hati saya mengajarkannya.

Saya pun memperagakkan beberapa gerakan tari sa man di hadapan mereka. Kemudian saya mem per tunjukkan beberapa tarian daerah Indonesia termasuk Tari Jejer Gandrung melalui video. “That is good and beautiful girls,” ujar mereka.

Mereka sangat tertarik dengan budaya Indonesia, dan pada akhirnya saya mengatakan, “You should come to my country especially my hometown which is Banyuwangi!.” (radar)