Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Modal Cat Air, Lukisan Tembus Belanda

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

modalBuku berjudul “Kemiren (Kisah Barong Jakripah dan Paman Iris)”, seolah mengubah jalan hidup Aris Siswanto. Setelah buku yang memuat lukisannya tersebut dijadikan koleksi perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, Aris yang semula bekerja sebagai buruh bangunan kini memilih fokus di dunia lukis. Dia bertekad membelalakkan mata dunia dengan lukisan karyanya.

PENDIAM, itulah kesan pertama yang kali pertama kami tangkap dari sosok Aris Siswanto, warga Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah. Bahkan pemuda kelahiran 9 Mei 1988 itu lebih tepat dikategorikan pemalu. Selain tidak banyak omong, Aris akan langsung mengarahkan pandangan ke bawah saat tanpa sengaja tatapan matanya “bertemu langsung” dengan pandangan kami.

Namun siapa sangka, di balik sosok Aris yang cenderung pemalu itu, tersimpan bakat seni yang begitu besar. Bayangkan, di usianya yang belum genap 26 tahun, lukisan karya Aris sudah mendunia. Memang bukan pure (melulu) karya lukisan yang melanglang buana ke mancanegara. Lukisan karya Aris tersebut menjadi satu kesatuan dalam buku folklore (cerita rakyat yang berasal dari mitos, dan berkembang dari mulut-ke mulut) berjudul “Kemiren (Kisah Barong Jakripah dan Paman Iris)” karya seorang pemerhati budaya Banyuwangi, Aekanu Hariyono.

Buku folklore yang ditulis dalam tujuh bahasa tersebut, di antaranya Bahasa Osing, Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, Bahasa Prancis dan Bahasa Italia, itu kini menjadi koleksi di salah satu perpustakaan Universitas terkemuka dunia, yakni Universitas Leiden di negeri Belanda. Ini dibuktikan dengan surat tanda terima kasih, tertanggal 10 Juni 2013, yang dikirimkan pihak pengelola perpustakaan Universitas Leiden kepada penulis buku tersebut.

Buku itu juga telah dikoleksi sejumlah pemerhati budaya asal 20 negara tersebut. Bahkan, pemerhati budaya asal Yunani rela jauh-jauh datang ke Banyuwangi sekadar untuk barter buku “Kemiren” dengan buku mitologi Yunani. Arislah yang berperan sebagai ilustrator buku yang berisi kisah pertempuran Singobarong dengan Paman Iris sebagai syarat untuk memperistri Jakripah tersebut.

Buku yang diterbitkan tahun 2013 oleh Lembaga Kajian Pendidikan Adat, Budaya, dan Lingkungan (KILING) Osing Banyuwangi, itu memuat 33 sequel lukisan sulung dua bersaudara putra pasangan Arisin dan Sehani tersebut. Hebatnya, Aris tidak pernah belajar khusus melukis. Kemampuan melukis didapat alumnus SMPN 5 Banyuwangi, ini dengan cara otodidak. “Saya senang menggambar sejak kecil. Awalnya saya menggambar pakai kapur tulis,” ujar Aris ditemui di kediamannya kemarin (8/9).

Aris mengaku membutuhkan waktu enam bulan untuk menuntaskan 33 sequel lukisan dalam buku  Kemiren” tersebut. Awalnya, dia membuat sketsa lukisan dengan pensil. Setelah sketsa rampung, finishing dilakukan dengan pewarnaan menggunakan cat air. Waktu yang  dibutuhkan memang cenderung lama, sebab kala itu Aris sibuk bekerja membantu ayahnya sebagai kuli batu. Dia melukis jika dia memiliki waktu senggang.

Nah, setelah lukisan hasil karyanya mampu mendapat pengakuan di tingkat Internasional, Aris pun memutuskan mencurahkan konsentrasi di bidang seni lukis. Sejumlah sequel lukisan untuk beberapa buku karya Aekanu, telah dia tuntaskan. Beberapa di antaranya adalah sequel lukisan untuk buku berjudul “Th e Story of Banterang and Surati (Asal Usul Nama Banyuwangi)” dan “The Story of Dewi Sri Tandjung and Sidapaksha”.

Selain itu, Aris kini juga tengah sibuk menggarap lukisan untuk buku berjudul “Misteri Sri Tandjung dan Sidapaksha”. Berbeda dengan lukisan sebelumnya, kini Aris lebih memilih menggunakan cat tembok sebagai media pewarnaan lukisan karyanya. Itu dilakukan dengan pertimbangan daya lekat cat tembok lebih kuat dibandingkan cat air. “Saya menggunakan bahan-bahan yang sederhana. Bagi saya, yang lebih penting hasil lukisan tersebut,” kata dia.

Aris mengungkapkan, hal tersulit yang dia hadapi dalam melukis untuk ilustrasi buku adalah menampilkan karakter sesuai gambaran kepribadian tokoh dalam cerita. Misalnya tokoh jahat, maka Aris harus mampu menggambarkan tokoh tersebut dengan wajah bengis. “Untuk itu, saya harus membaca cerita sampai tuntas hingga benarbenar memahami karakter tokoh dalam cerita,” tuturnya.

Aris berharap, lukisan hasil karyanya bisa bermanfaat bagi dunia pendidikan dan upaya pelestarian budaya dan cerita rakyat Banyuwangi. “Saya juga ingin lukisan saya bisa semakin mendunia,” cetus pemuda berperawakan tinggi tersebut. Sementara itu, Aekanu Hariyono yang mendampingi Aris saat menjalani sesi wawancara dengan wartawan Jawa Pos Radar Banyuwangi mengatakan, setelah bertemu dengan Aris, dirinya seolah mendapat tandem yang sejalan, yakni sama-sama ingin melestarikan folklore Osing.

Lantaran mengagumi karya Aris, Aekanu yang juga ketua KILING Osing, itu pun bertekad menggelar pameran lukisan karya pemuda yang satu ini paling lambat akhir Desember 2013. “Saat ini saya sudah menyiapkan seratus pigura untuk memamerkan lukisan Aris. Saya pribadi memasang target akhir tahun ini harus bisa menggelar pameran lukisan karya Aris,” pungkasnya.(radar)