PENJARA yang beralamat di Jalan Letkol Istiqlah Nomor 59, Banyuwangi, masih terlihat kokoh. Penjara itu dihuni 742 orang. Jumlah sebanyak itu sungguh menyesakkan. Idealnya lapas kelas II B dihuni 265 orang. Kondisi over kapasitas itu sudah berlangsung cukup lama.
Dengan kondisi full penghuni tersebut, belum ada penanganan konkret dari pemerintah untuk membangun penjara baru yang dianggap lebih layak. Yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa kali Lapas yang kini “dinakhodai” Arimin itu didera persoalan baru terkait ulah petugas dan warga binaan.
Belum genap sepekan oknum sipir mengajak dua warga binaan menemani pesta miras di dalam penjara. Kejadian itu benar-benar menampar muka petinggi lapas. Dua sipir “terpaksa” dikotak ke Kanwil Kemenkum-HAM Jatim. Sementara itu, orang-orang yang dianggap paling bertanggung jawab atas “keluarnya” dua tahanan yang diajak pesta miras tersebut justru tidak tersentuh sanksi.
Kabar terbaru, seorang napi dicokot tersangka narkoba yang tangkap Satnarkoba Polres Banyuwangi sepekan lalu. Tiga pelaku penyalahgunaan narkoba jenis sabu yang ditangkap itu adalah Arif Prasetya, 38, warga Kelurahan Lateng; Saleh Muhamad Alatas, 42, warga Jembrana, Bali; dan Nicholas, 46, warga Pamuyanan, Cianjur, Jawa Barat.
Barang haram tersebut diduga melibatkan jaringan di dalam Lapas Banyuwangi. Mereka diduga merupakan jaringan narkoba yang dikendalikan oknum napi yang kini mendekam di dalam sel. Napi itu adalah Darsono yang kini tengah menjalani proses hukum di Lapas Banyuwangi.
Dia duga menjadi operator dalam peredaran narkoba yang melibatkan ketiganya. Namun, pengakuan ketiga tersangka narkoba tersebut dibantah Kalapas Banyuwangi, Arimin, kala itu. Dia menegaskan pengakuan tersangka itu hanya alibi untuk mengalihkan perhatian.
“Itu sebatas pengakuan dan perlu ada tindak lanjut,” tegas Arimin kala itu. Terkait dugaan maraknya peredaran narkoba di lapas, tim JP-RaBa mencoba menggali dari berbagai sumber. Ada sumber dari napi dan beberapa sumber yang mengaku paham peredaran narkoba.
“Sudah bukan rahasia lagi di dalam lapas ada peredaran narkoba. Di dalam memang ada bandarnya,’’ ujar sumber JP- RaBa yang wanti-wanti namanya dirahasiakan. Ada tiga bandar yang “berkuasa” di penjara. Sumber tadi menyebut mereka inisial J, H, dan U.
Tiga bandar gede (bede) tersebut cukup disegani di penjara. Seperti peredaran di luar penjara, untuk mendistribusikan barang-barang haram tersebut, para bandar itu punya kurir. Dari kurir-kurir itulah barang dijual dengan sistem paket hemat (pahe).
Sumber tadi mengungkapkan, dari 742 penghuni lapas, sebanyak 247 orang tercatat sebagai tahanan narkoba. Jadi paket hemat tersebut dijual kepada tahanan narkoba dan tahanan kasus lain. “Omzetnya memang cukup besar. Kadang sehari bisa sampai Rp 10 juta untuk satu bandar. Kalau tiga bandar tinggal mengalikan saja,’’ ungkap sumber tersebut.
Lalu, bagaimana cara masuknya barang tersebut ke penjara? Sumber itu mengungkapkan, ada dua cara. Pertama lewat orang luar yang menyaru sebagai pembesuk. Modus pengiriman seperti itu sudah terbaca petugas sipir. Barang bisa dimasukkan dalam makanan dan benda lain yang dirasa aman.
Dulu memang pernah ada pembesuk memasukkan sabu-sabu lewat makanan (ayam goreng). Modus seperti itu langsung terungkap sipir. Modus kedua adalah dengan cara meranjau barang di luar penjara. Setelah barang diranjau, ungkap sumber itu, petugas lapas datang mengambilnya. Selanjutnya, barang tersebut diserahkan ke bandar di dalam penjara.
“Setelah barang sampai ke tangan bandar, barang itu dipilah-pilah menjadi paket pahe. Satu pahe dijual Rp 300 ribu. Kalau saat ini harga per gram sabu-sabu Rp 1,8 juta, bisa Anda hitung sendiri berapa keuntungan bandarnya,’’ ujarnya.
Dengan maraknya peredaran narkoba di lapas, bandar-bandar tersebut semakin mendapat keuntungan berlipat. Kalau sehari bisa meraup keuntungan Rp 10 sampai Rp 15 juta, dalam sebulan bisa dapat Rp 300 juta. Sungguh bisnis yang menggiurkan.
Lantas, berapa jumlah barang yang beredar selama sebulan? Sumber tersebut mengungkapkan jumlah sabu-sabu yang beredar di penjara dalam sebulan bisa mencapai 2 Kg dengan asumsi 1 gram sabu-sabu dipatok Rp 1,9 juta. Anehnya, bisnis haram narkoba di dalam penjara tersebut sampai sekarang masih aman-aman saja.
Pernah suatu ketika aparat Polres Banyuwangi melakukan razia mendadak, tapi hasilnya nihil. Hanya beberapa benda, seperti korek api dan benda tajam lain, yang ditemukan. Razia tersebut tidak sampai menemukan narkoba. Maraknya peredaran narkoba di dalam penjara mengundang keprihatinan mendalam Badan Narkotika Nasional (BNN).
Jika benar ada peredaran narkoba, BNN tak segan-segan melakukan razia. Pernyataan itu disampaikan Kepala Humas BNN Kombes Slamet Pribadi saat dikonfirmasi JP-RaBa beberapa waktu lalu. “BNN bisa memerintahkan BNP atau kapolres setempat merazia lapas,’’ tegas Slamet yang asli Lare Oseng tersebut.
Menurut Slamet, selagi alat komunikasi, seperti ponsel, bebas dipegang napi maka peredaran narkoba di lapas sangat mungkin terjadi. Sebab, dengan ponsel tersebut pemesanan barang dari luar bisa dilakukan. “Bersihkan dulu alat komunikasi kalau lapas mau bersih dari narkoba. Kalau masih ada napi memegang ponsel, ada kemungkinan di dalam sangat berpotensi terjadi peredaran narkoba,’’ ujar perwira polisi yang akrab disapa Didik tersebut. (radar)