Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Panjang Makam Tujuh Meter, Dibanjiri Peziarah saat Musim Pemilu

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

MAQASMMAKAM Mbah Dowo berada ditengah hutan kawasan Resort pemangku Hutan (RPH) Kedunggebang, Kesatuan pemangku Hutan (KPH) Perhutani Banyyuwangi Selatan, masuk Dusun Kutorejo, Desa Kalipait, Kecamatan Tegaldlimo.

Dengan luas sekitar seperempat hektare, areal pemakaman itu terlihat cukup bersih dan tertata rapi. Tidak sulit mencari makam yang dikeramatkan itu. Hampir semua warga di tepi hutan Alas Purwo tidak asing dengan makam tersebut.

Dengan kendaraan motor, dari kantor Desa Kalipahit hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit melalui jalan terjal penuh bebatuan. Warga sekilar hutan menyebut makam yang aneh itu sebagai makam Eyang Suryo Bujo Negoro.

Hanya saja, lebih dikenal dengan sebutan makam Mbah Drum. Dalam bahasa jawa, Dowo itu berarti panjang. Maksudnya, makam Eyang Suryo Bujo Negoro tersebut memiliki panjang yang tidak lumrah, yakni tujuh meter.

Konon, Mbah Dowo adalah seorang misionaris agama Islam sebelum masa para Wali Songo. Kepastian tentang siapa Eyang Suryo Bujo Negoro itu hingga kini masih simpang siur. Hanya saja, Mbah Dowo dikenal penyebar Islam di Bumi Blambangan sebelum ada Wali Songo.

Lagi-lagi ini juga cerita mulut karena belum ada sejarawan yang memastikan. Dari mana dan kapan Mbah Dowo meninggal, juga tidak ada yang tahu pasti. Pada batu nisan tidak tertulis tanggal atau tahun meninggalnya Mbah Dowo.

Konon, peziarah dapat mengetahui sejarah Mbah Dewo itu melalui kontak batin. “Saya sendiri tahunya juga dari peziarah yang melakukan ritual dan kontak batin.” cetus Asmat, 54, juru kunci Makam Mbah Dowo. Di sebelah barat kompleks makam ada balai panggung cukup besar dengan bangunan dari kayu.

Di lokasi itu juga ada musala lengkap toilet dan kamar mandi. Di tempat itu juga ada rumah berukuran 4 meter x 6 meter yang dijadikan tinggal Asmat, 54. “Makam ini direnovasi dengan dipasang keramik sekitar sepuluh tahun lalu, yang membangun itu ya para peziarah,” terang Asmat.

Asmat mengaku tidak tahu pasti mengenai Mbah Dowo. Termasuk makamnya dengan panjang tujuh meter itu. Saat pertama ditemukan, berupa gundukan seperti makam, lengkap dengan batu nisan dari batu. Di bagian kaki, tumbuh pohon jarak setinggi tiga meter.

“ini petilasan yang berbentuk makam,” terangnya. Meski belum diketahui jelas asal usul dan dan siapa sebenarnya Eyang Suryo Bujo Negoro, makam dengan panjang tujuh meter itu ramai dikunjungi para peziarah.

Tidak tanggung- tanggung para peziarah itu tidak hanya dari daerah Banyuwangi. Tapi banyak dari luar daerah, seperti Lampung Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Mataram. “Rata-rata peziarah itu datang untuk zikir dan berdoa minta kesejahteraan dan ketenteraman,” jelasnya.

Tidak hanya zikir dan berdoa, sebagian peziarah melakukan ritual setiap malam jumat Legi. Menjelang pemilihan, seperti pemilihan kepala desa (kades), pemilihan legislatif (pileg), pemilihan bupati (pilbup), pemilihan gubernur (pilgub), hingga pemilihan presiden (pilpres), kompleks makam Mbah Dowo dipadati para peziarah.

Meskipun sudah tujuh tahun tinggal dihutan menjaga Mbah Dowo, Asmat mengaku tidak khawatir dengan rezeki. Karena tidak jarang para peziarah membawa sesaji seperti ayam atau kambing lengkap tumpeng untuk dimakan bersama di areal makam tersebut.

“Saya akan terus mengabdikan hidup untuk menjaga makam ini,” tandas pria paro baya asal Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng itu. Ritual yang dilakukan para peziarah itu beragam. Di antara peziarah ada yang mengambil air di sumur di sekitar makam lalu di taruh dalam gelas atau jeriken.

Setelah dibacakan doa, mereka minum air itu. Tidak jarang, air itu dibawa pulang. Juga ada peziarah yang membawa dupa dan wewangian. ltu seperti yang dilakukan, Budi Satrio, 40, salah seorang peziarah asal Lampung.

Lelaki yang sudah tiga hari tiga malam menginap di makam Mbah Dewo ini mengaku, mendapatkan ketenangan saat memasuki kawasan Alas Purwo. “Sejak tahun 2002, saya sering bolak-balik ke Alas Purwo. Di sini saya menemukan ketenteraman dan kedamaian, “dalihnya (radar)