Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Pemburu Asam Kota Santri Rambah Kota Gandrung

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Pencari buah asam sedang memisahkan antara buah yang muda dengan buah yang tua di Dasa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, pagi kemarin (31-7).

KALIPURO – Adanya pelebaran jalan provinsi memaksa pohon-pohon asam yang berusia ratusan tahun yang tumbuh subur di jalur pantura Situbondo dipotong. Akibatnya, pemburu buah asam kini mulai kesulitan mencari salah satu bumbu dapur itu.

Setidaknya, hal itu dirasakan Kojin, 30, dan Didik, 40. Dua warga Situbondo itu harus mencari buah asam di pinggir jalan Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi. Kojin bertugas sebagai pencari buah. Sedangkan Didik sebagai pemanjat.

Keduanya mulai mencari pohon asam yang berbuah lebat sejak pukul 08.00o. Dalam satu pohon, mereka memanen hingga 4 kuintal buah asam. Buah yang baru di petik itu lalu dimasukan dalam karung untuk dikirim ke pengepul yang ada di Situbondo.

“Dalam satu karung berisi 40 sampai 60 kilogram,” ungkap Gojin. Satu pohon asem yang dipanen biasa mereka borong kepada pemilik pohon dengan harga Rp. 250.000. Jika pohon asem yang ada di pinggir jalan tidak ada pemiliknya. Mereka tidak berani memanen, karena pohon merupakan milik pemerintah.

‘Kami tanya dulu sama yang punya pohon asam. Kalau ada pemiliknya, baru kami borong,” ujar Kojin. Ada dua jenis hasil panen asam yang mereka peroleh. Asam muda yang mereka dapatkan dijual ke pengepul seharga Rp. 2.000 per kilogram. Sedangkan asem tua yang sudah bersih dari kulitnya dan siap konsumsi biasa mereka hargai Rp. 15.000 per kilogram.

“Kalau asam yang muda biasanya dikirim ke Jakarta untuk ekstrak permen dan minuman. Asam yang sudah tua biasanya di jual di pasar dan tukang jamu,” papar Kojin. Tidak hanya mencari pohon asam di Banyuwangi saja, kedua orang tersebut mengaku memburu buah asam hingga Bali dan Sumbawa.

Pemanjat pohon asem diberi upah Rp. 150.000 untuk satu hari memanjat dan memanen asem. Sementara bagi yang mengumpulkan asem dan menunggu dibawah pohon diberi upah Rp 60.000 perhari.

“Kalau buahnya lebat seperti ini bisa sampai dua hari proses panennya,” ungkap Didik. Pemanjat pohon asam sendiri memilih risiko yang cukup berat. Mereka harus pandai memilih ranting pohon yang kuat agar tidak patah saat dipijak.

Jika salah melangkah saat ada di atas pohon, risiko terbesarnya ialah jatuh terjun bebas ke atas tanah. “Kayu pohon asam biasanya rawan patah. Jadi harus benar-benar tahu mana ranting yang kuat dan rapuh,” tandas Didik. (radar)