Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Perang Bangkat, Tradisi Perkawinan Suku Osing

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

perangDebat dengan Kalimat Puitis sekaligus Kocak
SUASANA pesta pernikahan di Lingkungan Pakis Jalio, Kelurahan Sumberejo, Kecamatan Banyuwangi, siang itu cukup meriah. Arak-arakan. pengantin yang diikuti keluarga mempelai putra tampak mengular. Mereka juga sambil membawa seserahan atau biasa disebut ubo Rampe. Uniknya, para keluarga yang ikut arak-arakan membawa perbekalan berupa bantal, guling yang diikat dalam tikar dan alat-alat dapur.

Dan juga ayam, erus (sendok sayur), telur ayam kampung, kelapa, pisang, beras kuning, dan ubo rampe (perlengkapan) lainnya, Dengan membawa berbagai kebutuhan rumah tangga, iring-Iringan rombongan mempelai pria tiba di tempat mempelai wanita. Mereka bermaksud meminang perempuan tersebut untuk dijadikan istri. Setiba di dekat rumah sang gadis, rombongan mempelai lelaki di hadang keluarga besar mempelai perempuan. Terpasang selembar kain yang di ibaratkan sebagai gerbang yang membatasi kubu lelaki dan kubu perempuan. 

Ketika itu dalam bentuk (hama, pengantin pria (raja) dan pengantin putri (ratu) duduk dengan dipisahkan selembar kain putih tersebut. Masing-masing didampingi seorang dalang yang akan mengadu pusaka mereka. Dalang juga menjadi juru bicara atau membawakan pesan moral. Disebut Perang Bangkat, karena kedua dalang harus beipeiang dengan beradu argumen. Dari dalam gerbang, salah satu keluarga mempelai wanita yang jadi penjaga gerbang menanyakan keperluan datangnya rombongan mempelai pria itu.

Begitu dijawab bahwa maksud kedatangannya adalah melamar sang putri, penjaga gerbang itu langsung marah dan menolak mereka. “Saiki isun kudu biso ngulihaken lare wadon ikau (Sekarang saya harus bisa mendapatkan perempuan itu)? tegas juru bicara rombongan pengantin putra karena merasa ditolak oleh mempelai wanita. Teriakan ketua rombongan tersebut terus dibalas oleh ketua atau jubir rombongan mempelai wanita juga dengan tegas, di plomatis, dan bersyarat. “Eun gelem. ikou jalok tapi kudu ono syarate (Saya man kamu minta, tapi harus ada syaratnya) balas jubir keluarga perempuan itu. 

Nah sebagai syaratnya, ketua rombongan mempelai pria harus menyerahkan berbagai “upeti” yang telah disiapkan tersebut, seperti kasur dan bantal, dan berbagai peralatan dapur yang telah dibawa oleh rombongan mempelai pria tersebut. ”lki kabeh isun serahaken kanggo sang putri (ini semua saya serahkan kepada sang putri)? cetus ketua rombongan mempelai pria bermaksud menyerahkan syarat yang di minta rombongan mempelai wanita.

Singkat cerita, “perang argumentasi” yang penuh dialog kocak dan membuat semua penonton terpingkal-pingkal itu akhirnya usai. Penutupan debat itu ditandai dengan dibukanya selembar kain yang menjadi penghalang keluarga kedua mempelai. Saat itu juga, mempelai pria sudah boleh dipersilakan untuk melewati gerbang sehelai kain tersebut. “Setelah perang usai, dan syarat-syarat telah dipenuhi. Kedua mempelai dipertemukan dan disatukan ibu jarinya sebagai tanda bahwa mereka sudah boleh bersatu,” ujar salah satu Budayawan Banyuwangi, Sambiyono. 

Itulah sekilas pelaksanaan Perang Bangkat yang jadi tradisi khusus dalam suku osing pada pernikahan. Dalam upacara, peran ketua rombongan dan penjaga gerbang dilakukan oleh sesepuh Suku Osing yang dianggap memiliki kelebihan tenentu. “Perang Bangkit ini tradisi yang sudah berjalan turun-temurun cetus pria yang masih aktif sebagai dalang Perang Bangkat itu. Ternyata, tradisi Perang Bangkat ini tidak harus dilaksanakan dalam semua pemikahan. Bila kedua pasangan pengantin itu sama-sama anak sulung atau bungsu, maka Perang Bangkat harus dilaksanakan.

“Anak sulung dapat anak bungsu, ini juga harus dilakukan Perang Bangkat. Anak satu-satunya atau andal-andil juga harus dilakukan Perang Bangkat, “jelas Sambiyono Selain itu, Sambiyono menambahkan apabila anak bungsu mendapatkan anak sulung juga harus melakukan lokatan (ruwatan) terlebih dahulu. Ruwatan ini bertujuan agar perjalanan hidup kedua mempelai menjadi harmonis. 

“Yang harus diruwat ini ondal-andal, sendang kapit pancuran (perempuan di apit kakak dan adik laki-laki), pancaran kapit sendang (diapit kakak dan adik perempuan), dan tali mayit jika semua saudara wanita semua atau laki-laki semuaya terang Sambiyono. Akan tetapi, yang terpenting kata Sambiyono, adalah keunikan dari uadisi Perang Bangkat tersebut. Tradisi warisan nenek moyang itu, saat ini mungkin jarang dilakukan oleh pasangan yang menikah di Banyuwangi saat ini. “Harapan saya tradisi Perang Bangkat ini tetap lestari, kalau bukan kita yang melestarikan tradisi ini terus siapa lagi,” Lajar Sambiyono. (radar)