Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Petani Enggan Jual Gabah ke Bulog, Ini Alasannya . . .

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

SINGOJURUH – Sejumlah petani mengeluhkan datangnya 20 ribu ton beras impor yang turun di Pelabuhan Tanjungwangi pada Kamis (22/2) lalu. Sebab, kedatangan beras asal Vitenam itu membuat harga gabah milik petani yang kini mulai panen bisa turun.

Para petani menyebut kebutuhan beras yang cukup besar itu sebenarnya bisa diatasi, dan tidak perlu impor beras. Dengan datangnya beras impor, para petani enggan menjual gabahnya ke Bulog.

“Saya jual langsung ke tengkulak dan pabrik penggilingan padi,” ujar Hariyanto, 48, petani asal Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh.

Suhariyanto mengatakan, sebagian besar petani sekarang lebih senang menjual ke tengkulak. Itu dilakukan karena harga tengkulak relatif lebih mahal ketimbang harga yang ditawarkan ke Bulog. Apalagi, biaya ongkos angkut sudah ditanggung oleh tengkulak. “Kita hanya tinggal telepon dan menerima uangnya,” katanya.

Harga gabah kering panen (GKP), jelas dia, di tingkat petani bervariasi antara Rp 4.000 sampai Rp 4.300 per kilogram. Sedangkan harga yang ditawarkan Bulog, terang dia, di bawah harga yang ditawarkan tengkulan itu.

“Lebih baik dijual langsung ke tengkulak, harganya lebih mahal. Selain itu urusannya juga lebih enak,” cetusnya.

Petani yang menjual gabah ke tengkulan itu, juga ada yang sudah telanjur terikat utang dengan pihak pemilik pabrik penggilingan padi. Petani tidak bisa tawar menawar harga.

“Yang terjerat utang itu biasanya petani tidak punya modal saat akan mengelola sawah, lalu pinjam ke tengkulak,” ungkapnya.

Petani lainnya, Safuad, 50, mengakui kalau petani saat ini lebih senang menjual hasil panen ke tengkulak. Apalagi, para tengkulak banyak yang langsung ke persawahan melihat tanaman padi. “Harga lebih mahal di tengkulak,” terangnya.

Bila Bulog ingin mendapatkan gabah dari petani, jelas dia, mestinya menyediakan outlet-outlet pembelian gabah di desa-desa yang dekat dengan persawahan. “Petani tidak mau menjual gabah ke Bulog karena banyaknya beras impor, sehingga tidak ingin kualitasnya dibandingkan dengan beras impor,” dalihnya.