Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Peternak Susah Cari Rumput, Petani Terancam Merugi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

ABU vulkanik yang dipicu meningkatnya aktivitas Gunung Raung memang bukan pertama kali terjadi. Tetapi, kali ini berlangsung hingga beberapa hari. Tak ayal hal itu menimbulkan masalah bagi warga. Hujan abu vulkanik pertama terjadi pada tanggal 11 Juli.

Saat itu warga kaget bukan kepalang. Sebab, abu tersebut sangat mengganggu  warga dalam beraktivitas. Jika dicermati, abu yang mengguyur seputar Kota Gandrung dalam dua tahap itu ada perbedaan. Episode awal, butiran  abu lebih kasar.

Episode kedua, butiran abu yang mengguyur lebih halus. Tetapi, pada episode kedua hujan abu terjadi terus-menerus. Akibatnya, abu berwarna hitam itu sangat jelas terlihat di genting permukiman warga. Daun hijau aneka jenis tanaman pun berubah warna.

Desa Sumberarum, Kecamatan  Songgon, adalah wilayah yang paling parah terdampak abu vulkanik. Sebab, desa itu merupakan yang paling dekat dengan puncak gunung setinggi 3.332 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu.

Hujan abu yang terjadi belakangan   ini membuat warga kelabakan.  Warga yang memelihara hewan ternak adalah yang paling berduka. Sebab, mereka terganggu dalam mencari rumput untuk pakan ternak. Bayangkan, sebagian besar rumput diguyur abu vulkanik.

Akibatnya, rumput penuh debu itu tidak bisa dipotong begitu saja. Jika tidak hati-hati, maka daya tajam celurit bisa terancam. Tingkat kesulitan itu masih berlanjut. Artinya, rumput itu tidak langsung bisa dihidangkan ke hewan ternak,  seperti sapi dan domba.

Sebab, rumput masih dalam keadaan  penuh debu. Biasanya, hewan ternak seperti Sapi, enggan menyantap makanan yang menjadi menu setiap hari itu jika penuh abu. Hal itu yang  menyebabkan peternak harus mencuci rumput itu terlebih dahulu  dengan bersih.

Oleh karena itu, kebiasaan warga pencari rumput saat ini  adalah menyiram rumput dengan air di sungai. Jika kondisi tidak memungkinkan, para pemelihara hewan membersihkan rumput itu di rumah masing-masing. Meski susah mencari rumput, tapi para peternak tetap tidak gegabah.

Mereka tetap tidak menjual hewan piaraan, walaupun saat ini harga hewan ternak tergolong mahal. ‘’Biar dipelihara saja,” tukas Ali, peternak domba asal desa tersebut. Selain menyebabkan peternak susah, kalangan petani juga rugi gara-gara abu vulkanik itu.

Sebab, abu vulkanik tersebut berakibat fatal terhadap tanaman yang masih muda. Tanaman cabai, misalnya. Abu  vulkanik tersebut lengket di daun tanaman tersebut. Jika terus menempel dalam waktu lama, maka tanaman itu akan layu.

Belum lagi kalau disengat sinar  matahari yang terus-menerus.  Akibatnya, tanaman tidak bisa  berkembang dan terancam mati. ‘’Kalau disiram air ya percuma,  karena hujan abu masih  berlangsung,” kata Solihin, salah  satu petani cabai asal Dusun  Krajan, desa setempat.

Menurut dia, para petani yang baru menanam cabai terancam merugi. Sejauh ini tanaman yang mati terpaksa diganti tanaman baru. ‘’Banyak bibit tanaman yang disulami,” jelasnya. Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) Desa Sumberarum,  Sugiyono, mengatakan jika hujan abu terus terjadi,
maka tanaman perlu disiram.

Jika dibiarkan, maka daun bisa  kering. “Daun bisa kering,” kata  lelaki brewok itu. Para petani penggarap lahan di daerah terpencil juga merasakan dampak abu vulkanik. Kali ini ancaman datang dari gangguan kera. ‘’Kera-kera kerap  merusak tanaman selada,” kata Samsul, salah satu petani  seladah.

Gara-gara kera itu, para petani pun pusing tujuh keliling. Hasil panen seladah menjadi  turun drastis. ‘’Satu lahan bisa rusak dalam satu malam. Panen dapat Rp 1 juta, kemarin cuma dapat Rp 300 ribu gara-gara ulah kera,” sesal Samsul.

Dia mengatakan, populasi kera di dataran lereng Gunung raung kini bertambah. Selain menyerang tanaman warga, kera itu juga merusak tanaman  tebu milik Perkebunan Bayu Kidul. (radar)