Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Hukum  

Puluhan Tambang Sirtu tak Berizin

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI – Penambangan pasir dan batu (sirtu) secara ilegal masih marak di Banyuwangi. Dari 34 lokasi pertambangan galian C di Bumi Blambangan, ternyata baru dua lokasi yang telah mengantongi izin. Ironisnya, di satu sisi, pemerintah kini tengah giat melakukan pembangunan. Itu berarti dibutuhkan banyak bahan galian untuk menunjang pembangunan tersebut. Sementara itu, di sisi lain, volume hasil tambang galian C legal diprediksi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan bahan baku bangunan di Banyuwangi.

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pertambangan (Disperindagtam) Banyuwangi, Hary Cahyo Purnomo mengatakan, dari 34 galian C di Banyuwangi, baru dua lokasi yang mengantongi izin. Sisanya, yakni 32 unit tambang sirtu, belum mengantongi izin sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009. “Sampai saat ini, dari 32 galian C yang belum berizin, baru sebelas unit yang mengajukan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP),” ujarnya kemarin (9/10) .

Hary menjelaskan, agar dapat melakukan penambangan pasir dan batu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Yang pertama, lokasi pertambangan itu harus sesuai peraturan daerah (perda) tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW). Selain itu, pengusaha tambang sirtu juga harus mengajukan WIUP. Jika WIUP terpenuhi, pengusaha bisa mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi yang dikeluarkan Badan Lingkungan Hidup (BLH). “Perlu ada dana jaminan untuk melakukan normalisasi lokasi pertambangan.

Besarnya dana jaminan itu tergantung volume (pasir dan batu) yang di tambang,” kata Hary. Setelah mendapat IUP eksplorasi tersebut, petugas akan melakukan pengecekan kembali. Jika hasil pengecekan dinyatakan seluruh persyaratan sudah terpenuhi, maka Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) akan mengeluarkan IUP operasional atau eksploitasi. “Pemerintah mengedepankan pembangunan berwawasan lingkungan dengan pola partisipatif. Pihak-pihak terkait mendorong pelaku usaha pertambangan memiliki izin usaha sesuai amanat Undang-Undang,” paparnya.

Masih kata Hary, pada September, petugas instansi terkait telah melakukan penutupan lima lokasi tambang sirtu ilegal. Namun, beberapa hari berselang, pertambangan kembali di lakukan di lokasi galian C yang telah ditutup tersebut. Sementara itu, ketua Asosiasi Pengusaha Galian C Banyuwangi, Bernard Sipahutar mengatakan, kebanyakan anggota asosiasi tersebut belum siap mengurus izin lantaran biaya yang harus di keluarkan cukup besar, yakni berkisar Rp 130 juta. Biaya sebesar itu termasuk jaminan reklamasi sekitar Rp 60 juta.

“Banyak teman-teman yang merasa tidak sanggup. Terutama mereka yang volume tambangnya kecil,” ujarnya di konfirmasi via sambungan telepon. Bernard mengatakan, berdasar analisis pribadi dirinya, dua tambang sirtu yang beroperasi dan telah mengantongi izin, itu diprediksi tidak cukup memenuhi kebutuhan masyarakat sebanyuwangi. Apa lagi jika dikaitkan dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah.

 Bernard mengakui, berdasar pantauannya masih ada beberapa galian C yang tidak berizin tetap beroperasi. Itu di lakukan untuk menutup modal pengusaha yang sudah telanjur dikeluarkan. “Kalau dari asosiasi (pengusaha galian “C”), kami butuh kemudahan proses mengurus izin. Saat ini proses administrasinya terlalu banyak yang harus dilalui,” pungkasnya. (radar)