Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

PUNGUTAN DILARANG, SUMBANGAN BOLEH

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI – Dinas Pendidikan (Dispendik) Banyuwangi tegas melarang segala bentuk pungutan di sekolah. Meski begitu, sumbangan partisipasi masyarakat untuk pengembangan pendidikan tetap diperbolehkan.

Penegasan itu disampaikan Sekretaris Dispendik Banyuwangi, Dwi Yanto, dalam penutup diskusi Forum 89 (Wolu Songo)  yang dihelat Jawa Pos Radar Banyuwangi di aula Gedung Guru kemarin (29/6). Menurut Dwi Yanto, permasalahan peran serta masyarakat akan dirumuskan dalam peraturan bupati (perbup).

Selama ini, kata Dwi Yanto, Dispendik memang melarang keras adanya pungutan dalam bentuk apa pun. Tetapi, adanya sumbangan PSM untuk dapat memenuhi kebutuhan sekolah tetap diperbolehkan. Tentu sumbangan itu tidak bersifat memaksa dan tidak boleh memberatkan wali murid.

Dalam perbup yang mengatur sumbangan untuk pendidikan itu, Dwi mengatakan akan memasukkan di masa penyusunan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) di awal tahun. Yang terjadi saat ini, penyusunan RAPBS dilakukan pada pertengahan tahun atau pada permulaan tahun ajaran baru.

Di dalam perbup itu nanti, kata Dwi, akan diatur berapa biaya standar sumbangan yang bisa diadakan sesuai kondisi sekolah. “Kita akan membuat perbup yang dirancang bersama Bappeda untuk mengatur  sumbangan di sekolah.

Nanti detail perbup itu akan dipampang bersama dengan dana BOS yang tersedia,” jelas Dwi Yanto. Penegasan sekretaris Dispendik  itu dilontarkan setelah menyimak berbagai keluhan yang dirasakan para perwakilan komite  dan kepala sekolah.

Seperti yang dirasakan Ketua Komite SDN Model Banyuwangi, Suminto. Selama ini Suminto mengaku harus bekerja keras memeliharafasilitas sekolah agar berjalan baik. Sebab, SDN Model yang memiliki luas lahan 4,8 hektare itu memerlukan biaya operasional dan biaya perawatan sangat tinggi.

‘’Bayangkan, sekolah kami memiliki banyak gedung. Ruang kelasnya banyak. Ada gedung olah raga, ada gedung serba guna, dan banyak  fasilitas lain. Jumlah toiletnya saja 31 unit,” jelasnya. Menurut Suminto, sekolah seluas itu dengan fasilitas yang seabrek ternyata mendapatkan jatah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang nilainya  sama dengan SD lain di pinggiran Kabupaten Banyuwangi.

Tentu saja, kata dia, kucuran dana dari pemerintah itu tidak akan bisa mencukupi kebutuhan operasional dan perawatan sarana yang sudah ada. Oleh karena itu, Suminto mengakui bahwa komite bersama pihak sekolah mencoba menggunakan program Peran Serta Masyarakat (PSM) agar dapat menutupi kebutuhan sekolah.

Meski menjalankan PSM, komite dan sekolah berusaha mengambil kebijakan yang tidak memberatkan wali murid. ‘’Yang ada hanya iuran untuk masing-masing koordinator kelas (korlas) yang beranggota para wali murid. Nominalnya (iuran) bervariasi di setiap korlas, yakni Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per bulan,” ujarnya.

Nilai iuran korlas itu pun, kata Suminto, ternyata masih belum cukup untuk mengcover kebutuhan perawatan sekolah seluas  itu. “Kami ingin tahu sebenarnya dana pendidikan Kabupaten Banyuwangi yang jumlahnya lebih dari 1 triliun itu diarahkan kemana? Karena untuk memobilisasi (sumbangan dana) PSM tidak diperbolehkan, padahal banyak kebutuhan yang kita perlukan,” terang Suminto.

Kegalauan serupa juga terjadi dan dirasakan komite tingkat SMP. Sering kali masalah sumbangan partisipasi masyarakat dipermasalahkan wali murid. Seperti yang dialami oleh Komite SMPN 1 Banyuwangi. Ketua Komite SMPN 1 Banyuwangi, Juliesetyo Puji Rahayu,  mengatakan sejak awal kebijakan sumbangan PSM sudah dimusyawarahkan  bersama wali murid.

‘’Saat wali murid kumpul, semua sepakat sumbangan. Akan  tetapi, di tengah jalan, ternyata  ada saja wali murid yang memprotes kebijakan sumbangan tersebut,’’ tuturnya. Bahkan, kata Julies, tak jarang sumbangan yang sudah disepakati itu menimbulkan konflik horizontal.

Karena itu, kata dia, jika memang pemerintah bisa  mencukupi kebutuhan sekolah, kebijakan PSM tidak akan diterapkan di lapangan. Nyatanya BOS hanya bisa menutupi biaya minimal pendidikan. Padahal, SMPN 1 Banyuwangi sering ditunjuk melaksanakan beberapa program pemerintah kabupaten.

Julies lantas mencontohkan rencana  program Unas CBT (computer  base test). Jika diterapkan, program itu akan membutuhkan banyak unit komputer. Belum lagi fasilitas lain yang juga memerlukan dana perawatan. Keterbatasan dana itulah yang membuat pihak komite dan sekolah harus mencari cara  untuk memenuhi kebutuhan melalui  sumbangan partisipasi masyarakat.

Tetapi, agar dapat menjalankan  sumbangan partisipasi tanpa  protes, menurut Julies, perlu  adanya aturan khusus dari pemerintah. Sehingga, komite dan pihak sekolah nanti tidak disalahkan. Sebaliknya, jika sumbangan dibatasi dan dianggap melanggar peraturan, konsekuensinya sekolah sulit berkembang  sesuai tuntutan masyarakat.

“Untuk menentukan dana PSM harus ditagih atau dibayar sendiri saja kita masih bingung. Wali murid meminta fasilitas sekolah terpenuhi, tapi komite dilarang menarik uang. Kami butuh dasar hukum supaya tidak disalahkan. Tidak mungkin kan sekolah percontohan dana operasionalnya sama dengan sekolah di pelosok,” ujar Julies.

Sementara itu, Komite SMA  yang turut bersuara di forum tersebut menjelaskan, cukup sulit menentukan besaran sumbangan dan kesepakatan wali murid. Sebab, jika orang tua diberi tanggung jawab sumbangan yang berbeda tapi fasilitasnya sama, tentu akan  menciptakan kecemburuan  tersendiri.

“Di SMA kita pun sangat membutuhkan dana untuk pengembangan sekolah. Kita coba terapkan konsep ramah sosial dengan membebaskan  orang tua tidak mampu,” ujar Fathur Rozi, ketua Komite SMAN 1 Giri. (radar)