Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Ridwan, Pandai Besi Serbabisa dari Srono Sering Ikuti Festival Tingkat Nasional

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

piawaiBanyak pandai besi di Bumi Blambangan. Namun, pandai besi yang telaten membuat gamelan sekaligus piawai memainkan alat musik tradisional mungkin hanya Ridwan. Suara gemerincing dan bunyi perkusi terdengar di rumah Ridwan, 32, di Desa Wonosobo, Kecamatan Srono, Banyuwangi. Rumah itu tak hanya dijadikan tempat tinggal. Bangunan seluas enam meter kali sepuluh meter itu ternyata juga berfungsi sebagai bengkel pandai besi. Seolah berjodoh, rumah sekaligus workshop (bengkel) milik Ridwan tersebut ternyata tak jauh dari situs Watu Gong.

Rumah produksi gamelan dan gong itu ternyata dekat dengan situs nenek moyang yang berbentuk seperti gong itu. Sungguh berjodoh. Setelah melihat lebih dalam, di bengkel itu ada beberapa pekerja tengah melakukan finishing Ada yang mengecat, ada pula yang membentuk besi. Sementara itu, Ridwan, sang pemilik bengkel, terlihat duduk sambil memainkan keyboard dan tuner. Tepat di sebelahnya terdapat alat musik tradisional saron. Sekilas, cara kerja suami Ari Eniyati tak jauh beda dengan pandai besi lain.

Pria berkacamata itu cukup mahir membuat seperangkat  gamelan dan angklung. Dengan sen tuhannya, batangan baja bisa disulap menjadi berbagai bentuk gamelan, seperti gong, kemung, saron, peking, dan lain-lain. Tidak hanya itu, dia juga mahir memainkan alat musik tradisional Jawa tersebut. Selain membuat bermacam alat musik tra disional, dia juga piawai memainkan bermacam alat musik tersebut. Bakat dan kelebihan bermain itu terasah sejak Ridwan kecil. Sejak kecil dia gemar memainkan alat musik bersama teman sebayanya.

Saking gandrungnya bermain klotekan, dia dulu pernah mendirikan grup patrol bersama teman sepermainan. Grup yang terdiri atas teman-teman itu biasanya berlatih musik usai mengaji di musala. “Semua alatnya berasal dari bambu,” tutur lelaki kelahiran 29 Agustus itu mengenang masa kecilnya. Besar sebagai anak seorang pandai besi, praktis ayah tiga anak ini terbiasa melihat proses pembuatan berbagai alat dari logam. Kata pepatah; buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ridwan pun mewarisi keahlian orang tuanya.

Sejak kecil, Ridwan su d ah belajar menempa besi dan baja menjadi alat pertanian, seperti sabit dan parang. Setelah benar-benar menguasai ilmu menempa logam, dia iseng membuat sesuatu yang berbeda. Secara iseng, dia mencoba membuat salah satu alat musik, yakni saron. Tanpa diduga, saron buatannya tidak mengecewakan. Nah, sejak tahun 2003 lalu dia benar–benar serius menggarap alat musik itu. Awalnya, dia membuat gamelan hanya un tuk sanggar seni di lingkungannya.

Melihat karyanya lumayan bagus, kini laki-laki yang pernah tampil live di stasiun TVRI Surabaya itu pun kebanjiran order. Beberapa lembaga pendidikan yang pernah memesan gamelan made in Ridwan, antara lain Universitas Negeri Jember (Unej), Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW), dan Universitas Brawijaya Malang. Dalam menjalankan aktivitasnya itu, Ridwan dibantu empat karyawan. Mereka bisa menyelesaikan satu set gamelan leng kap dalam waktu satu bulan.

Namun, jika pemesan hanya menginginkan wilahan (batangan) tanpa rancak (dudukan), mereka bisa menuntaskan dalam tempo dua minggu. Sementara itu, alat musik angklung bisa diselesaikan hanya dalam waktu tiga hari. Dengan catatan, bambu bahan baku angklung itu sudah siap. Namun, jika bambu bahan bakunya masih harus menebang pohon bambu, maka di butuhkan waktu sebulan. Yang butuh waktu lama adalah pengeringan bambu secara alami. Dalam membuat gamelan dan angklung, Ridwan biasanya melakukannya bersama karyawan. Hanya seorang asisten khusus yang diberi tugas membuat dudukan.

Pekerja lain ditugasi membuat wilahan. Setelah semua bahan (dudukan dan wilahan) siap, tugas terakhir adalah menyelaraskan nada. Terkait tugas ini Ridwan tidak mau kompromi. Dengan tekun dan teliti, dia sen diri yang mengecek nada. Selain mengandalkan pendengaran, Ridwan juga menggunakan keyboard dan alat khusus pe ngukur nada (tuner). Proses inilah yang menurutnya gampang-gampang sulit. ”Ya harus telaten. Apalagi, kalau pas barengan suara bising tetangga; ada suara chainsaw (gergaji mesin), itu menyulitkan,” kata Ridwan.

Harga yang dia patok untuk satu gamelan bervariasi, mulai Rp 10 juta sampai Rp 30 juta. Harga angklung ukuran anak-anak bisa dipesan mulai harga Rp 300 ribu. Semua itu bergantung bahan dasar dan mo del ukiran pada rancak. “Harga sesuai bahan. Kalau ditambah ukiran, ya tambah sedikit,” jelas ayah Irma Ikaning Damayanti, Yesinta Erika Putri, dan Wisnu Aji Saputra, itu. Sementara itu, gamelan ‘’made in Srono’’ ter sebut ternyata sudah menembus luar Jawa. “Pesanan dari Sumatera dan Kalimantan pernah ada. Bahkan, dari Irian Jaya juga pernah,” ujarnya.

Bahkan, Ridwan baru saja menyelesaikan seperangkat angklung pesanan kerabat dekat Menko Polhukam Djoko Suyanto. Beberapa bulan lalu seorang seniman indie dari Jepang, Takeshi Kubodera, juga datang kekediamannya dan belajar membuat gamelan kepada Ridwan. Selain itu, Takeshi juga mengomparasikan alat musik dari Jepang, Salytery (alat musik petik mirip siter Jawa), dengan gamelan buatan Ridwan. Saat itu, kebetulan sedang akan dilaksanakan lomba cipta tari di Gesibu Banyuwangi.

Kesempatan itu tak disia-siakan Ridwan dan kawan–kawannya untuk unjuk kebolehan bersama Takeshi. Dari usahanya ini, omzet yang dihasilkan Ridwan mencapai Rp 50 juta per bulan. Penghasilan yang dia peroleh itu digunakan menggaji karyawan dan menghidupi keluarganya. Dengan penghasilan sejumlah tersebut, Ridwan mampu menyekolahkan anak-anaknya. Anak sulung Ridwan kini sedang menempuh pendidikan di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember.

Anak kedua Ridwan tercatat sebagai siswa kelas VII di SMPN 1 Srono. Terakhir, si bungsu, masih duduk di bangku kelas 1 SDN 1 Wonosobo. Selain membuat gamelan, Ridwan juga sering tampil di luar daerah. Beberapa pertunjukan yang pernah dia ikuti adalah perayaan HUT Kemerdekaan RI tahun 2009 bersama Sanggar Seni Jingo Sobo di Istana Negara, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Ridwan dkk berhasil menyabet gelar penyaji terbaik defile Jawa Timur. Di tahun yang sama, mereka juga mentas di Kuta Carnival 2009.

Lagi-lagi mereka mendapat gelar penyaji terbaik. Kemudian, pada tahun 2010, Ridwan kembali dipercaya Sanggar Seni Jinggo Sobo ikut Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM). Konser musik di kota Solo itu melibatkan peserta dari 20 negara. Akhir-akhir ini Ridwan rutin berlatih dengan para seniman di Blambangan Art School. Latihan itu sebagai persiapan rencana pementasan di Australia pada November tahun ini. “Sebenarnya musik di Banyuwangi ini khas. Alangkah baiknya jika pemerintah memiliki pusat pendidikan musik Banyuwangi agar musik Banyuwangi semakin jaya dan lestari,” pungkasnya. (radar)