Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Rumah Dikepung Banjir, Nenek Berumur 85 Nekat Bertahan di Atas Kasur

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Supinah-dievakuasi-tim-BPBD-Banyuwangi-menggunakan-perahu-karet-Rabu-lalu

SALAH satu korban banjir meluapnya Sungai Wagud pada Rabu lalu (8/6) adalah Supinah. Nenek berumur 85 tahun yang tinggal di Dusun Kedungringin, RT 11, RW 3, Desa Kedungringin, Kecamatan Muncar, itu tinggal bersama salah satu cucunya, Sudarto, 25.

Di kampungnya, rumah yang  ditempati Supinah itu termasuk terpencil dan terisolasi. Sebab, rumahnya itu dikelilingi dua aliran sungai yang berbatasan dengan Dusun Kedungdandang, Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar. Menuju rumah Supinah harus menyeberangi Sungai Tapanrejo, masuk wilayah Desa Tapanrejo, dengan medan penuh lumpur dan cukup curam.

Usai melintasi Sungai Tapanrejo dengan lebar sekitar delapan meter, harus kembali berjalan kaki melintasi kebun jati dan sengon sepanjang 500 meter. Di tengah kebun jati itu ada sebuah rumah sederhana dengan ukuran tujuh meter kali sepuluh meter yang ditempati Supinah bersama cucunya, Sudarto.

Jarak dari rumah itu ke Sungai Wagud hanya sekitar 20 meter. Di pinggir sungai ada tanaman bambu lebat dan rindang. Di sebelah timur rumah berdinding tembok itu ada bangunan berdinding gedheg sebagai dapur. Seluruh isi di dapur itu telah habis terbawa banjir pada Rabu (8/6). Bahkan,  separo dinding dapur itu jebol akibat diterjang luapan air.

“Peralatan dapur dan kandang ayam, semua ludes dibawa banjir,” ujar Supinah dengan mata berkaca-kaca. Banjir yang terjadi itu dianggap lebih besar dibanding banjir yang pernah terjadi pada 2001. Banjir pada Rabu lalu (8/6) itu sangat  besar dan alirannya cukup deras.

“Air mengalir cukup deras. Semua barang disapu bersih,” ungkapnya. Supinah mengaku sudah tinggal dan menetap di rumahnya itu sejak tahun 1977 bersama almarhum Tukidi, suaminya. Saat banjir terjadi pada tahun 2001, dia bersama suaminya sempat bertahan di atas pohon jambu.

Rumahnya yang saat itu masih dari gedheg, nyaris hanyut terbawa banjir. Selama semalaman bertahan di atas pohon jambu yang sudah diberi palang bambu untuk duduk. “Semalaman saya tidak tidur, hanya duduk sambil melihat air banjir sampai surut lagi,” kenangnya.

Dari pengalaman banjir pada tahun 2001 itu, pada tahun 2008 anak kandungnya, Supeno, 45, memutuskan membangun rumah tembok dengan harapan tidak hanyut saat banjir besar datang. “Tanah ini bukan milik pribadi, jadi tumpang karang,” cetus Supeno, anak Supinah.

Setelah selesai dibangun, Supeno meminta pada anaknya, Sudarto, untuk tinggal bersama neneknya agar tidak kesepian. Saat banjir pada Rabu lalu (8/6), Sudarto dengan sigap menolong neneknya itu agar tidak keluar dari rumah dan bertahan di atas kasur, meski rumahnya sudah terendam air banjir.

Supinah baru dievakuasi oleh tim BPBD Banyuwangi yang turun ke lokasi dengan membawa perahu karet sekitar pukul 07.30. Awalnya, Supinah sempat menolak untuk dievakuasi ke tempat yang lebih aman, lantaran tidak tega dengan cucunya yang tinggal sendirian menjaga rumah dan isinya.

Setelah dibujuk oleh tim BPBD, Supinah akhirnya mau naik ke atas perahu karet dan dipindahkan ke rumah Supeno, yang berjarak sekitar 500 meter dengan melewati kebun jati dan menyeberangi sungai. Setelah air surut, Supinah kembali tinggal bersama Sudarto, cucunya.

Tidak banyak yang bisa dikerjakan, kedelai yang ditanam di samping rumahnya telah ludes dan rusak parah. “Untuk makan dan minum, saya kirim dari rumah, karena masih belum bisa memasak,” terang Supeno. (radar)