Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Satu Kampung Perajin Cobek Sejak 30 Tahun Lalu

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

KAWASAN di sekitar jembatan Wiroguno, Desa/Kecamatan Gambiran, selintas memang tidak beda dengan daerah lainnya. Tapi kalau masuk ke sudut-sudut rumah warga, akan sedikit beda karena di setiap rumah terlihat tumpukan batu  sungai berukuran cukup besar.

Di lingkungan Dusun Krajan 2, Desa Gambiran, selama ini dikenal dengan produksi cobek batu. Warga yang ada di kampung itu, banyak yang memahat bongkahan batu menjadi perkakas dapur.  Sore kemarin (3/2), di belakang rumahnya, Suprapto, 56, tampak lihai me mainkan palu dan alat penancal (paku) untuk memipihkan batu sungai.

Tanpa memakai pelindung khusus, dia cekatan memukul bongkahan batu menjadi bentuk cobek. Sesekali, mengganti penancal dari yang berukuran kecil ke agak panjang. Jika penancal di rasa mulai tumpul, dia juga mengganti  dengan penancal lainnya.

“Penancalnya  itu ada tiga macam,” terangnya. Dalam sehari, Suprapto mampu meng hasilkan tiga buah cobek dari bongkahan batu sungai. Hasil karya itu, lebih sering dititipkan kepada pengepul. “Untuk menjual sudah ada pengepulnya,” ungkapnya.

Cobek yang dihasilkan suami Surati, 50, itu rata-rata dijual dengan harga Rp 40 ribu per unit. Dengan penghasilan itu, dia mampu menghidupi keluarga dan dua anaknya. “Lumayan hasilnya,” katanya. Lain lagi Wahyudi, 30. Pria yang kini  sudah dikaruniai satu anak dari  perkawinannya dengan Bela Novela, 20, itu lebih suka membuat munthu atau ulek.

Ulek-ulek buatannya itu dijual  dengan harga Rp 110 ribu per kodi,  dengan satu kodi berisi 20 buah. Jika kondisi normal dan tenaga fit, dalam sehari dia mampu menghasilkan 20 ulek. “Sehari mampu kalau 20 ulek,” jelasnya. Dalam membuat ulek itu, Wahyudi  mengaku hampir tidak ada hambatan.

Selama tubuh sehat, dia bisa bekerja sesuai pesanan yang ada. Hanya saja,  jika musim hujan dan sungai banjir ada sedikit masalah karena tidak bisa mencari  batu di sungai Kalisetail yang ada di  barat rumahnya. “Kalau banjir tidak bisa mencari batu,” jelasnya.

Wahyudi mengaku mendapatkan ilmu memahat batu itu hasil turun temurun, hanya saja ada sedikit  perubahan. Dari cerita moyangnya, kakeknya membuat cobek berbahan tanah. Tapi, perlahan bahan dari tanah itu diganti  dari batu. “Kalau tanah bisa dibentuk  kenapa batu tidak, awalnya berpikir begitu,” terangnya.

Tidak hanya dilestarikan di kampungnya,  saat ini warga yang melirik keahlian ini  juga bertambah. Tidak sedikit warga dari daerah lain datang untuk belajar membuat cobek. “Kalau datang ingin  belajar, tentu kita ajari,” cetusnya. (radar)