Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Sebagian Penari ternyata Berasal dari Pesantren

MEMAKAI STOKING: Penari gandrung dengan kostum yang tertutup pada bagian pundak dan lengan.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
MEMAKAI STOKING: Penari gandrung dengan kostum yang tertutup pada bagian pundak dan lengan.

Parade Gandrung Sewu yang berlangsung bulan lalu menyisakan sejumlah cerita unik. Dari seribu penari yang tampil di Pantai Boom, ternyata puluhan penari di antaranya berasal dari pesantren.

“ISUN gandrung, gandrungono.” Kalimat yang dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan “Saya gandrung, maka gandrungilah” itu membahana di kawasan Pantai Boom, Banyuwangi, Sabtu sore itu (17/11). Sesaat kemudian, ribuan penari gandrung yang menari secara kolosal di atas hamparan pasir landai di pantai tersebut bergerak serentak meninggalkan lapangan pertunjukan.

Pertunjukan yang kali pertama digelar di Banyuwangi itu memang mengundang decak kagum puluhan ribu penonton yang berasal dari seantero Banyuwangi, luar daerah, hingga wisatawan mancanegara. Mereka mengelu-elukan gerakan yang begitu kompak dari 1.044 penari gandrung yang berasal dari kalangan siswa mulai tingkat SD hingga SMA/sederajat, dan mahasiswa se-Banyuwangi tersebut.

Namun, tak banyak yang tahu, ternyata dari ribuan penari gandrung itu, di antaranya berasal dari pesantren, yakni siswi SMK Darussalam Blokagung. Anda yang membaca tulisan ini mungkin heran atau bahkan tidak percaya bahwa seni gandrung sudah masuk ke pesantren. Bagaimana pun itulah kenyataannya. Seperti diungkapkan salah satu pencetus pergelaran Gandrung Sewu, drh. Budianto.

Dikatakan, begitu mendengar ada penjaringan siswa sekolah untuk menjadi penari gandrung dalam Parade Gandrung Sewu yang digelar untuk memperingati Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) ke-241, SMK Darussalam di Blokagung, Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari, itu mengajukan diri mengirim wakil. Akhirnya, 20 siswa SMK yang berada satu kompleks dengan Pondok Pesantren (Ponpes) Darussalam, Blokagung, tersebut terpilih menjadi talent dalam Parade Gandrung Sewu.

“Itu menunjukkan bahwa seni gandrung sudah masuk ke semua kalangan, termasuk ke pesantren,” ujar Budianto. Pria yang juga pemerhati budaya ini menambahkan, saat menari, para siswi SMK yang juga merupakan santri Pon pes Darussalam itu tetap mengenakan jilbab dan se ma cam stoking, baik di tangan mau pun kaki. “Tentu saja, mereka (penari gandrung asal SMK Da russalam) juga mengenakan mahkota sebagaimana yang di kenakan penari gandrung lain,” paparnya.

Menanggapi hal itu, KH. Ali Makki Zaini, salah satu tokoh agama di Banyuwangi, menyatakan tidak mempermasalahkan penari gandrung yang berasal dari lingkungan pesantren. Malah, dia menilai wajar jika lingkungan pesantren terlibat dalam pelestarian budaya dan kesenian. “Seni itu sun natullah,” tutur pria yang akrab disapa Gus Makki itu. Menurut Gus Makki, selama da lam pergelaran seni tersebut tidak ada yang melanggar syariat Islam, tidak ada masalah.

“Yang penting auratnya tetap ter tutup. Saat menari, ketiaknya tidak kelihatan. Tidak ada pesta minuman keras (miras)nya. Toh, hal itu tidak mengurangi ke aslian gandrung,” jelas Wa kil Ketua Pengurus Cabang (PC) Nahdlatul Ulama (NU) Banyuwangi itu. Gus Makki menambahkan, keterlibatan dalam kesenian itulah yang membedakan Islam di Indonesia dan Islam di kawasan Timur Tengah. “Bukankah Wali Songo berdakwah meng gunakan kesenian, misalnya wayang.

Bagi NU yang dinilai  konteksnya, bukan bung kusnya,” terangnya. Sementara itu, sisi menarik lain dari Parade Gandrung Sewu yang masih belum banyak di k etahui warga adalah konsep awal pergelaran tersebut. pergelaran akbar tersebut se benarnya akan diadakan di lapangan Taman Blambangan. Na mun, saat ide tersebut disampaikan kepada Bupati Abdullah Azwar Anas, orang nomor satu di lingkungan Pemkab Banyuwangi itu memutuskan ajang tersebut akan lebih baik digelar di pantai.

Menurut Budianto, alasan Bupati Anas karena Banyuwangi memiliki pantai yang cukup panjang dan belum tergarap maksimal. Apalagi, beberapa waktu lalu ngetren lagu dengan penggalan lirik “padang ulan ning pesisir Banyuwangi” yang artinya “terang bulan di pesisir Banyuwangi. “Jadi, untuk menunjukkan bahwa Banyuwangi memiliki banyak pesisir yang indah, akhirnya Parade Gandrung Sewu digelar di Pantai Boom,” kata dia.

Tidak hanya itu, Anda yang menyaksikan Parade Gandrung Sewu mungkin bertanyatanya, siapa penggarap desain cerita yang menggambarkan perjalanan gandrung dari awalnya tari seblang, lantas bermetamorfosis menjadi gandrung lanang atau yang lazim disebut gandrung marsan, dan akhirnya berubah menjadi gandrung perempuan seiring masuknya penjajah Balanda.

Dia adalah Sumitro Hadi, seniman gaek Banyuwangi. Budianto menambahkan, dari mana ide Parade Gandrung Sewu itu muncul dan apa landasan yang mendasari ide tersebut. “Kenapa muncul ide diadakan Parade Gandrung Sewu untuk memeriahkan Harjaba? Ka rena Banyuwangi adalah gan drung, dan gandrung adalah Banyuwangi,” pungkasnya. (radar)