SUARA mengaduh terlontar dari mulut Saiyah. Tangan kiri dari perempuan 60 tahun itu, terkena pukulan palunya sendiri. Nenek itu terlihat meniup jari telunjuk tangan kirinya. Dia tampak terdiam sambil melihat saat Jawa Pos Radar Genteng mendekatinya. Tanpa banyak tanya, perempuan itu menyampaikan kalau batu yang dipecah sudah cukup banyak dan bisa diambil.
“Ini sudah cukup banyak, pak. Ada sekitar sepuluh keranjang, setiap keranjang Rp 3.500,” kata Saiyah. Sadar kedatangan Jawa Pos Radar Genteng hanya sekedar bertanya, dia pun langsung tertawa. Saiyah langsung mengenalkan diri dengan tinggal di Dusun Krajan, Desa Parijatah Kulon, Kecamatan Srono.
“Kalau RT dan RW saya lupa. Saya kira sampean orang yang mau membeli batu,” ujarnya pada Jawa Pos Radar Genteng. Saiyah mengaku sudah bertahun-tahun menjadi pemecah batu. Dia menggeluti pekerjaan ini bersama adiknya yang juga perempuan.
“Adik saya ada di sebelah sana, di sini yang kerja (memecah batu) ada delapan orang,” katanya. Dalam sehari, dia bisa memecah batu rata- rata empat keranjang, untuk satu keranjang harganya Rp 3.500. Tapi, pembeli datang dan mengambil batu koral itu kalau sudah mencapai satu truk.
Untuk bisa satu kali pembelian itu, maka setiap pemecah batu harus bisa mengumpulkan dalam jumlah besar. “Kalau sendirian, biasanya itu seminggu baru bisa diangkut, dan dapatnya sekitar Rp 100 ribu,” ungkapnya. Dengan penghasilan yang serba pas-pasan, Saiyah mengaku bisa mencukupi kebutuhan dapur rumahnya. Untuk menabung demi sekolah anak dan keperluan lainnya, mengandalkan hasil kerja suaminya.
“Jadi ini cuma cukup di makan, kalau ditotal sehari hanya hanya da pat Rp 14 ribu, kalau lagi semangat bisa da pat Rp 20 ribu,” terangnya. Pemecah batu lain, Isma, 45, menyebut kerja menjadi pemecah batu itu dipilih karena tak ada pekerjaan lain. Dirinya tetap bertahan meski pekerjaannya keras dengan hasil yang tidak begitu banyak.
“Kalau ada pekerjaan lain dan lebih enak, saya pasti berhenti,” ungkapnya. Isma dan Siyah berharap harga koral bisa naik agar penghasilannya bertambah. Selain itu, batu yang ada di sungai Bomo semoga juga tidak cepat habis. “Kalau harapannya itu saja, dan semoga tetap sehat,” katanya. (radar)