Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Sulit Lupakan Keramahan Warga Bumi Blambangan

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

sulitFilm televisi (FTV) Lari dari Kawin Lari dan Banyuwangi Sunrise of Love telah selesai diproduksi 7 Juli 2013 lalu. Bagaimana kesan sang sutradara dan para pemain yang terlibat dalam dua fi lm yang pertama diproduksi full di Banyuwangi itu?

 PROSES produksi dua Film Te levision (FTV) Lari dari Kawin Lari (LKL) dan Banyuwangi Sunrise of Love (BSL) telah selesai. Dua fi lm yang mulai produksi 25 Juni 2013 ter sebut usai produksi pada 7 Juli 2013 lalu. Beberapa pihak yang ter libat pun merasa lega. Sebab, pro duksi dua fi lm tersebut tergolong ru mit. Tetapi, rumit bukan berarti su sah.

Rumit karena ada beberapa adegan dan property tambahan yang ha rus disediakan secara dadakan. Na mun demikian, atas kerja sama be berapa pihak, yakni Pemkab Ba nyuwangi dan Komunitas Watu buncul, proses produksi dua fi lm tersebut berjalan lancar. “Ada beberapa adegan dan property yang ha rus dipenuhi. Dalam skenario se betulnya tidak ada. Tapi demi pro mosi Banyuwangi, skenario itu diubah” kata Dwi Ilalang, sang sutradara.

Sutradara berambut gondrong ter sebut mengaku terkesan dengan dukungan masyarakat Banyuwangi ter kait dua film yang diproduksi Production House (PH) Moestions tersebut. Dwi mengaku, dukungan tersebut sangat membantu kelancaran pro duksi Produksi di luar Jakarta, bagi sutradara yang pernah membesut film Sang Dewi itu bukanlah hal baru.

Bahkan, sutradara yang setiap bulan rata-rata memproduksi empat film tersebut, hampir sebulan sekali memproduksi film di luar Jakarta. “Tetapi, baru kali ini saya mendapat dukungan luar biasa dari masyarakat,” kata sutradara yang pernah mengorbitkan Sabai Morscheck, Taufik Savalas, dan Syahrini itu.

Dalam wawancara eksklusif dengan Jawa Pos Radar Banyuwangi beberapa hari lalu, Dwi Ilalang menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada Bupati Banyuwangi, masyarakat, Sanggar Genjah Arum, dan Komunitas Watubuncul. Dia menyadari betul bahwa tanpa sambutan semua pihak, dua film yang akan ditayangkan di SCTV tersebut tidak akan terlaksana dengan baik.

Dwi juga menyampaikan niatnya memproduksi film layar lebar di Banyuwangi, ten tang Puputan Bayu misalnya. “Itu sudah saya bicarakan dengan Bupati Anas dan Sam sudin Adlawi,” kata sutradara yang pernah bekerja sama dengan Jackie Chan itu. Selain itu, Dwi berharap Komunitas Watubuncul membuka sejenis kelas acting, agar masyarakat Banyuwangi yang ingin berkecimpung di dunia film terbiasa berakting di depan kamera.

Jika FTV di SCTV benar-benar tandem (produksi terus), maka  banyak pemain yang dibutuhkan. “Bu kan hanya masyarakat Banyuwangi yang berharap tandem, saya juga sangat ber harap,” tambahnya. Sementara itu, sang Co-Producer PH Moestions, Wawan Savareno, mengaku tak jub melihat hasil produksi film LKL. Film yang diproduksi 25 hingga 30 Juni itu su dah bisa disaksikan hasilnya pada 2 Juli lalu. “Luar biasa hasilnya.

Alam dan adat Banyuwangi sangat unik,” kata Wawan Sa vareno di sela-sela menenggak es degan di Taman Blambangan. Meski anggaran yang dikeluarkan jauh me lebihi plafon yang ditargetkan, tapi dia merasa tidak kecewa. Sebab, hasilnya memang sangat bagus. Wawan juga menyampaikan terima kasih kepada semua pi hak yang telah membantu produksi dua film tersebut.

“Saya juga berterima kasih kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi yang telah memberitakan selama proses syuting berlangsung,” tambah Wawan. Sebelum meninggalkan Banyuwangi, Ringgo dan Sabai Morscheck menyampaikan kesannya atas sikap masyarakat Banyuwangi yang sangat welcome. Apalagi, bupati sampai-sampai menyempatkan diri menyambut semua kru di Pendapa Sabha Swagata Blambangan dengan selamatan khas Banyuwangi.

Dia mengaku sering syuting di luar daerah, bahkan di daerah terpencil. Namun, baru di Banyuwangi dia mendapatkan sambutan luar biasa. “Saya baru kali ini disambut sangat luar biasa. Tidak akan saya lupakan,” kata Ringgo kala itu. Senada dengan Ringgo dan Sabai Morscheck, Sharena dan Ryan Delon menyampaikan keheranannya dengan sambutan masyarakat Banyuwangi.

Mereka berdua mengagumi tata krama yang di perlihatkan masyarakat Banyuwangi. Sharena mengatakan, tata krama sudah menjadi jati diri masyarakat Indonesia. Tetapi, tata krama masyarakat Banyuwangi, menurutnya di atas rata-rata. Sehingga, meski banyak orang yang menonton proses syuting, tapi dia tidak merasa terganggu. Sebab, tidak ada satu pun yang melanggar privasi.

Menurut Ryan Delon, dalam berbagai hal, masyarakat Banyuwangi terbiasa meminta izin. Mau sekadar foto pun, mereka meminta izin terlebih dahulu. “Boleh minta fotonya, Mas?” kata Ryan Delon menirukan permintaan salah satu fans. Itu suatu hal yang tidak pernah dia temukan di daerah lain. Di daerah lain, malah tidak jarang bajunya sobek karena ditariktarik fans. “Bahkan, ada yang sampai masuk ruang ganti.

Tapi, di Banyuwangi itu tidak ada,” pungkas Ryan Delon. Saat diminta memberikan kesan-kesan selama proses syuting, Sharena mengaku bangga terhadap talent-talent Banyuwangi. Sebab, meski baru pertama kali acting di depan kamera, tapi mereka bisa menyesuaikan blocking, lighting, dan improve. “Seperti sudah biasa main film. Ajeng misalnya. Jadi saya tidak merasa susah,” kata Sharen. (radar)