Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Tradisi Gelar Pitu, Ritual Khas Dukuh Kopen Kidul di Desa Glagah

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Pawai Naik-turun Pematang Sawah Menuju Lokasi

TAK ubahnya ritual-ritual khas suku Oseng, Gelar Pitu yang berarti pergelaran di hari ketujuh Lebaran tersebut juga diramaikan dengan gamelan dan angklung paglak khas Banyuwangi. Sejak pukul 13.00 masyarakat sudah berbondong untuk dapat melihat langsung ritual asli masyarakat Dukuh Kopen Kidul, Dusun Kampung Baru, Desa/Kecamatan Glagah, itu.

Jika dibandingkan lokasi ritual Seblang atau Barong Ider Bumi, lokasi yang digunakan ritual Gelar Pitu bisa dibilang sangat terpencil. Masyarakat yang ingin melihatnya harus melewati jalan terjal naik-turun sebelum benar-benar sampai di lokasi.

Untung saja di sekelilingnya terhampar sawah yang cukup menyejukkan pandangan mata. Sehingga, perjalanan menuju lokasi terasa tidak membosankan. Di lokasi, suara gamelan sudah sedemikian ramai karena ternyata sebelum acara dimulai, sudah ada kesenian jaranan yang menghibur warga.

Baru sekitar pukul 14.30 sekitar sepuluh orang berdiri untuk mengangkat kupat gunggung yang sejak awal dikerumuni penonton. Kupat gunggung itu adalah ketupat dalam jumlah banyak yang disusun mirip tumpeng raksasa. Isinya, menurut Samsul Lasmidi, 47, ketua panitia ritual tersebut, adalah uang.

Jumlahnya bervariasi, ada yang receh, pecahan  Rp 1.000, pecahan Rp 10.000, hingga Rp 50.000. Setiap kepala keluarga (KK) di Dukuh tersebut, kata Lasmidi, akan menyumbang tujuh buah ketupat berisi uang. “Ini bukti keikhlasan penduduk dengan memberikan rezekinya di dalam  kupat gunggung,” kata Lasmidi.

Setelah diangkat, kupat gunggung diarak mengelilingi pedukuhan tersebut. Di depan rombongan ada barong dan pitik-pitikan. Di belakangnya ada rombongan hadrah dan musik gamelan. Baru di belakangnya ada orang-orang yang memikul kupat gunggung.

Ketika iring-iringan berjalan, anak-anak kecil berlarian mengikuti rombongan. Apalagi, ada barong dan pitik-pitikan di depannya yang bisa digoda anak-anak. Suara penabuh angklung yang duduk di atas  pondok bambu atau biasa disebut paglak semakin kencang mengiringi jalannya rombongan.

Arak-arakan kupat gunggung itu berhenti di depan makam Buyut Saridin. Makam itu dipercaya warga sebagai tempat peristirahatan terakhir sesepuh Dukuh Kopen Kidul. Usai berdoa di sana, warga kembali mengarak kupat gunggung menuju tempat awal mereka berangkat.

Di sini proses akhir dilaksanakan, yaitu rebutan kupat gunggung.  Mereka yang sejak awal tampak menahan diri berhamburan menerjang kupat gunggung. Meskipun harus berdesak-desakan, warga rela asalkan dapat mengambil beberapa buah ketupat.

Mereka yang berhasil memperoleh bagian dari ketupat itu langsung menepi untuk menghitung uang yang mereka peroleh di dalamnya. Warga percaya jika semakin banyak uang yang mereka peroleh dari kupat tersebut, maka akan semakin banyak rezeki yang akan mereka peroleh.

“Ini dapat Rp. 10.000, lumayan. Rezekinya memang segini sepertinya,” ujar Amin, 26, salah satu warga yang ikut berebut.(radar)