Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Usia 57 Tahun Masih Tampil Menari

SENIOR: Temuk Misti di rumahnya di Desa Kemiren
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
SENIOR: Temuk Misti di rumahnya di Desa Kemiren

Sejak masih remaja, Temuk Misti sudah menjadi penari gandrung. Masyarakat pun menjulukinya dengan sebutan Gandrung Temuk. Dia usianya yang sudah 57 tahun, dia masih eksis manggung untuk menghibur para pencinta seni.
-SIGIT HARIYADI, Glagah-

SEKELOMPOK perempuan sedang mengelilingi sebuah mobil pikap yang sedang parkir di tepi ja- lan Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyu- wangi siang itu (3/6). Setelah didekati, baru diketahui bahwa ternyata para perempuan itu sedang asyik memilih peralatan rumah tangga, seperti gayung, timba, dan piring plastik yang dijajakan mobil pikap keliling.

Salah satu perempuan tersebut adalah Temuk Misti, sang maestro gandrung. Nama Temuk yang juga ngetop di kalangan anak muda setelah penari itu berkolaborasi dengan grup musik Patrol Orkestra Banyuwangi (POB) beberapa tahun lalu. Karena dalam album musik POB tersebut, Temuk didaulat menyanyikan sebuah lagu berjudul “Ojo Cilik Ati” yang artinya jangan berkecil hati. Setelah tahu maksud kedatangan wartawan koran ini, Temuk lang- sung beranjak pulang.

Dengan ramah, dia mengajak penulis mampir ke rumahnya. “Ayo berbincang di rumah saya saja,” ajaknya. Setelah berjalan sekitar 50 meter, dia masuk ke dalam rumah yang berdiri di tepi jalan beraspal tersebut. Di depan rumah terpampang poster bertuliskan Sanggar Kesenian Gandrung “Sopo Ngiro” pimpinan Temuk. Nama besar Temuk sebagai penari Gandrung ternyata tidak lantas membuatnya hidup glamor.

Rumah yang dia tempati bersama seorang anak kerabatnya tersebut sangat jauh dari kesan mewah. Lantai rumah memang dilapisi semen, tetapi bagian langit-langit yang berada di ruang tamu sudah jebol. Perabot dan barang mewah pun tidak tampak di dalam kediaman Temuk. Di sebelah ruang tamu, hanya ada satu televisi ukuran 14 inci, dan satu set speaker aktif. Cukup lama Temuk membiarkan wartawan koran ini sendirian di ruang tamu.

Setelah sekitar 15 menit berselang, dia kembali dari arah dapur dan menyuguhkan secangkir teh hangat. “Silakan diminum, hanya air yang bisa saya suguhkan,” ujarnya. Temuk mengaku dirinya terlahir dengan nama Misti. Namun, lantaran saat bayi dia sakit-sakitan, orang tuanya lantas menambahkan nama Temuk di depan nama lahirnya tersebut. “Nama saya jadi lebih panjang, yakni Temuk Misti. Tetapi sampai sekarang masyarakat lebih mengenal saya dengan nama Gandrung Temuk,” ceritanya.

Di usia 15 tahun pada tahun 1969 silam, Temuk mulai belajar tari gandrung. Entah karena bakat alam atau faktor lain, Temuk dengan cepat menguasai tarian asli Banyuwangi tersebut. Bahkan tiga tahun berselang, karirnya sebagai penari gandrung semakin melesat. “Ngetop-ngetopnya saya ya pada tahun 1972 itu,” paparnya. Kini usia Temuk sudah 57 tahun. Meski sudah tua, dia tetap eksis manggung di pentas seni tradisional. Bahkan pada tanggal 16 Juni mendatang, dia masih dipercaya menjadi penari gandrung di acara hajatan yang digelar warga Wonosari, Kecamatan Glagah.

Kecintaan Temuk terhadap Tari Gandrung memang tidak perlu diragukan. Demi regenerasi, dia kerap kali melatih anak-anak muda menari Gandrung. Beberapa bulan yang lalu, dia juga dipercaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi untuk melatih 24 remaja menari gandrung. “Saya berkewajiban melestarikan tarian asli Banyuwangi ini,” terangnya. Upaya Temuk ternyata tidak sia-sia. Setidaknya, satu dari 24 muridnya itu kini menjadi penari gandrung profesional.

Hidayati –nama murid Temuk tersebut lantas bergabung dalam grup Sopo Ngiro bersama sang guru. Sebagai seniman panggung, Temuk tentu tidak bisa seratus persen mengandalkan penghasilan dari upah manggung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Temuk memilih bertani. “Alhamdulillah saya punya sawah walaupun luasnya tidak sampai setengah hektare (ha). Hasilnya bisa untuk menyambung hidup,” katanya.

Tidak hanya itu, karena hasil panen tidak mampu digunakan menutup seluruh kebutuhan hidupnya, Temuk juga beternak ayam kampung. Ironisnya, akhir bulan April yang lalu, ratusan ayam ternak miliknya mendadak mati. Modal sebesar Rp 2 juta pun melayang. “Padahal pagi ayam-ayam itu sehat. Eh sore hari kok tiba-tiba mati semua. Kemungkinan kena flu burung,” katanya.

Catatan panjang Temuk dalam dunia kesenian gandrung membuat pemkab menjadikannya salah satu duta promosi wisata. Beberapa waktu yang lalu, dia berkesempatan mempromosikan wisata Banyuwangi di Bali bersama rombongan pemkab. “Saya berterima kasih kepada pemerintah yang telah memperhatikan para pelaku seni,’’ ujarnya. (radar)