Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

WARGA BEREBUT AIR PERASAN RESIK LAWON

GOTONG ROYONG: Warga menjemur kain kafan di Lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri, Banyuwangi, kemarin.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
GOTONG ROYONG: Warga menjemur kain kafan di Lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri, Banyuwangi, kemarin.

GIRI – Tradisi khas resik lawonkembali digelar warga Lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri, Banyuwangi, kemarin. Tradisi seperti ini sudah berlangsung puluhan tahun. Warga ramai-ramai membersihkan kain kafan penutup kompleks makam Buyut Cungking.

Uniknya, hanya kaum pria yang boleh melakukan ritual resik lawon. Para ibu-ibu ditugaskan memasak kue dan ma kanan. Upacara resik lawondimulai pukul 08.30 dan diawali ngayah (menyapu) di pesareanBuyut Cungking. Kemudian, kainla won (mori) itu dilepas bersama-sama dan dicuci di dam Kerambangan, Kelurahan Ban jarsari.

Setelah itu, kain itu dibawa untuk diperas dan dibilas di Balai Tajuk. Para pria dan sesepuh ber gantian memeras dan membilas kain itu dalam dua ember yang berbeda. Mereka diwajibkan me lakukan tiga perasan di se tiap kain, baik kelambu dalam maupun kelambu luar. Setelah itu, kain-kain itu dijemur di tali tambang yang diikat oleh tali bambu) pada tiga pasak kayu yang sudah didirikan se be lumnya.

Hal itu bertujuan untuk me-mi lah, membersihkan dan mengganti kain lama dengan kain lawonbaru. Bekas air perasan dari kain lawonitu selalu di perebutkan masyarakat, “Air sisa pera san ini dipercaya bisa memberi kesehatan dan memberi berkat terhadap orang yang meminumnya,” ujar Jama’i, juru kunci kompleks makam Buyut Cungking.

Sementara itu, para pria bahu-membahu menjemur kain suci tersebut. Kemudian, mereka di beri kesempatan menikmati ma kanan yang sudah disiapkan ibu-ibu. Di sini juga tersedia kue yang hanya dibuat setahun sekali, yaitu amplog, utri, dan tape putihya ng disajikan setengah matang. Menariknya, kain lawonbaru itu dijahit oleh seseorang yang su dah berusia lanjut, yakni 78 ta hun.

“Saya memang selalu menjahit kain-kain lawonbaru sejak 1962,” ujar Su’ud, seorang warga. Setelah kain kering, kain yang ma sih bisa digunakan akan kem bali dipasang di tempat se mula. Nah, kain yang sudah tidak bisa digunakan lagi akan dilabuh (dipendam) di dae rah sekitar makam.

Sebagai pe nutup upacara, dilakukan nye karke makam sebagai per mintaan maaf apabila ada ke salahan selama upacara ber langsung. Sekadar diketahui, tradisi resik lawonsudah berjalan turun-temurun. Bagi warga setempat, Buyut Cungking merupakan sosok yang sangat dihormati. Nama Cungking di lingkungan tersebut diambil dari nama tokoh tersebut.

Buyut Cungking juga dalam pejuang mengusir penjajah. Beliau dipercaya sebagai guru Prabu Tawang Alun. Melihat besarnya jasa itu, se-tiap pertengahan Syakban, terutama hari Kamis atau Minggu, warga selalu menggelar tradisi resik lawon. Kegiatan itu selalu dilaksanakan antara tanggal 12 hingga 15 Ruwah (Sya’ban). Pokoknya pada hari Kamis atau hari Minggu,” jelasnya. (radar)

Kata kunci yang digunakan :