Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

15 Penari Gandrung Berselawat Keliling Kampung

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

para-penari-gandrung-berkeliling-kampung-di-lingkungan-cungking-kelurahan-mojopanggung-sambil-membaca-selawat-di-setiap-sudut-kampung

Uniknya Ritual Ider Bumi Warga Lingkungan Cungking

DI ANTARA tanggal 12–15 Zulhijah dalam kalender Hijriyah, dipilih hari Kamis atau Minggu, warga Lingkungan Cungking selalu menggelar tradisi  turun-temurun berupa selamatan  kampung. Selamatan kampung di Lingkungan Cungking sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang  Mahaesa.

Selain itu, selamatan kampung itu juga untuk mengenang leluhur mereka, yakni Wongso Karyo atau biasa disebut Buyut Cungking. Selamatan kampung itu diawali dengan ritual lamaran besanan. Prosesi itu dilakukan pada malam sebelum selamatan dilaksanakan.

Di prosesi lamaran besanan itu, pihak kepala kelurahan setempat atau yang mewakili mendatangi balai tajuk di rumah warga. Proses itu bisa dikatakan langkah awal yang menandakan bahwa selamatan kampung boleh dilaksanakan. Pihak kelurahan pamit kepada sesepuh setempat untuk menyelenggarakan selamatan kampung dan memohon izin  melakukan ritual di petilasan Buyut Cungking.

Pihak kelurahan setempat datang ke balai tajuk tidak dengan tangan kosong. Mereka membawa hasil bumi, seperti kelapa, pisang, kayu, dan lain sebagainya. Setelah prosesi selesai, barulah warga setempat mempersiapkan segala keperluan selamatan kampung.

Ada beberapa bahan tumpeng yang wajib disajikan waktu selamatan, antara lain ayam putih mulus, tape cengkarok dan jajan amplog. Pada malam itu warga juga sudah mulai mengupas poro bungkil dan memetik sayur-mayur untuk keperluan selamatan kampung yang dilaksanakan  keesokan harinya.

”Sayuran dan poro bungkil yang digunakan selamatan harus yang bagus-bagus dan tidak boleh cacat,” kata Rustadi, humas Budaya Lingkungan Cungking. Acara masak-memasak pun dilakukan. Selain tumpeng inti yang dipersiapkan, seluruh warga juga mempersiapkan tumpeng di rumah masing-masing.

”Kalau tumpeng warga bebas, bisa menyajikan apa saja. Tapi kalau tumpeng inti harus ada 100 takir (wadah kecil dari daun) berisi menu makanan yang akan dimakan bersama-sama,” tambah Rustadi. Setelah semua persiapan selesai dilaksanakan, hari Kamis (15/9), sore kemarin, ritual selamatan kampung dimulai.

Awal prosesi, sesepuh setempat dan warga menuju makam Buyut Cungking dengan membawa dua tumpeng  yang telah dibuat warga. Di makam itu warga pamit kepada leluhur bahwa ritual selamatan kampung akan dilaksanakan. Menjelang azan magrib, rombongan warga meninggalkan makam Buyut Cungking dengan membawa kembali tumpeng untuk ditaruh di  balai tajuk dan di pusat desa.

Nah, setelah salat magrib dilaksanakan, barulah warga melakukan tradisi Ider Bumi keliling kampung di Lingkungan Cungking. Ider Bumi tahun ini terlihat lebih menarik. Sebab, pesertanya tidak hanya warga. Penari gandrung juga diajak berkeliling kampung sembari membaca selawat diiringi musik  tradisional Banyuwangi hingga salat isya   berkumandang.

Di belakang iring-iringan gandrung, ada iring-iringan warga dan para santri masjid setempat membawa oncor (obor). ”Untuk prosesi ini ada 15 penari gandrung yang kita ikutkan. Semua penari warga Cungking. Mereka harus menutup aurat menggunakan  kain spandek,” ujar Rustadi.

Setelah Ider Bumi dilaksanakan, prosesi  masih berlanjut setelah salat isya. Tumpeng   yang sudah dibuat warga pun dimakan bersama di depan rumah masing-masing. Sebelumnya, pihak kampung memanjatkan doa ungkapan rasa syukur atas nikmat Tuhan yang telah  diberikan dan juga agar Lingkungan Cungking terhindar dari mala petaka.

Acara masih berlanjut, setelah hidangan tumpeng selesai dimakan dan sambutan-sambutan dibacakan, mocoan Lontar Yusuf dilantunkan semalam suntuk. Nah, pada saat pembacaan Lontar Yusuf tersebut, seluruh  warga keluar rumah dan duduk-duduk di  jalan raya tengah kampung. Tidak sedikit yang  tidur-tiduran di tengah jalan hingga semalam   suntuk.

”Kita saat itu sambil berdoa. Intinya agar doa kami yang kami panjatkan ini lebih  menyatu dengan alam. Semua lampu dimatikan dan hanya menggunakan obor,” tambah Rustadi. Rustadi menjelaskan, Buyut Cungking alias Wongso Karyo adalah leluhur warga Cungking.

Kesaktiannya tidak bisa diragukan lagi. Dia diyakini sebagai guru spiritual Prabu Tawang Alun. Bahkan, saat wilayah Cungking dulu terkena musibah banjir bandang, Buyut Cungking bisa mengatasi hal itu hanya dengan cara menancapkan keris si gagak miliknya di ujung desa.

Seketika banjir yang menerjang Cungking langsung meluber ke tempat lain. Tidak hanya itu, wilayah Cungking dulu juga pernah terkena musibah angin puting-beliung dan kebakaran hebat. Buyut Cungking pun berhasil mengatasinya cukup dengan mengibaskan selendang hijau miliknya. Api langsung padam.

”Dulu  juga ada perampok yang ingin beraksi di desa  kami, tapi oleh Buyut Cungking perampok  itu dibikin bingung dan tidak jadi merampok desa kami. Setelah ada beberapa musibah itu, warga melakukan selamatan kampung hingga saat ini setiap tahun,” kata Rustadi.

Kehadiran penari gandrung dalam Ider Bumi  kali ini bukan sekadar memeriahkan acara.  Lebih dari itu, selamatan itu juga untuk mengenang leluhur mereka yang lain, yakni  Semi yang merupakan penari gandrung  perempuan pertama di Banyuwangi.

Dengan ditampilkannya gandrung, diharapkan  warga lebih mengerti bahwa sejarah gandrung  di Banyuwangi tidak lepas dari Semi yang  merupakan warga kelahiran Cungking. ”Lebih  tepatnya menghidupkan sejarah gandrung. Gandrung sudah bukan lagi milik warga Cungking,  tapi sudah milik semua orang dan dikenal ke tingkat dunia. Perlu diketahui juga bahwa penari  gandrung wanita pertama yakni Mbah Semi  adalah orang Cungking,” pungkas cucu penari gandrung perempuan pertama itu. (radar)