Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Hukum  

170 Tower Seluler Terindikasi Bodong

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI – Menara atau tower telekomunikasi yang didirikan tanpa izin tentunya merugikan banyak pihak. Dari segi ekonomi, pemerintah daerah dirugikan karena tower tidak berizin tidak memberikan pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Banyuwangi.

Padahal retribusi tower cukup besar. Saat ini saja, berdasar penghitungan pemerintah, tower legal sekitar 300 unit yang ada di Banyuwangi berpotensi menghasilkan retribusi sebesar Rp 3 miliar per tahun. Dengan besaran retribusi plus minus dua persen per unit.

Data dari satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Banyuwangi, ada sekitar 170-an tower tak berizin yang tersebar di wilayah Banyuwangi. Rata-tata mereka tidak mengantongi izin gangguan (HO) maupun Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah.

Kepala Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu (BPPT) Banyuwangi Abdul Kadir melalui sekretaris BPPT Supriyadi mengatakan, ilegalnya sebuah tower karena tidak ada kejelasan pemilik. ‘Hampir semua tower yang tidak berizin itu diurus oleh pihak ketiga,” jelasnya.

Parahnya, orang yang mengurus itu lebih dari satu dan tidak keterkaitan antara bidang yang satu dengan yang lain. “Misalnya bagian kontraktor hanya mengurusi pembangunan fisik tower. Sedangkan yang mengurus izin lain lagi.

Parahnya mereka tidak saling kenal walau menjadi pengurus tower yang sama. Akhirnya timbul kerancuan, beber Supriyadi. Pihaknya juga menemukan fakta yang membingungkan dilapangan. Untuk mendirikan tower, pemilik rela menyewa lahan dengan tarif Rp 100 hingga Rp 150 juta pertahun ketimbang membeli tanah.

“ini yang saya heran. Rata-rata tower ini sewa tanah. Bukan beli. Tarif sewanya mahal. Belum lagi bayar komisi untuk masyarakat,” ucapnya.  Akibatnya ketika masa sewa tanah habis, sering terjadi polemik antar warga dan pemilik tower.

Yang sering terjadi adalah massa melaporkan pihak pemilik tower dengan alasan tidak mendapat restu dari masyarakat atau melanggar tata lokasi. Selama memiliki izin resmi dari pemerintah dan tidak ada perubahan bangunan, dijelaskan Supriyadi tidak perlu persetujuan dari masarakat.

Izin kepada masyarakat sekitar tower hanya sekali saat pendirian tower.  “Meski peraturan dari pusat menyatakan izin tower berlaku selamanya, namun pertautan daerah mengimbangi dengan perpanjangan izin setiap lima tahun sekali.

Hal ini untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian,” katanya.  Sesuai Perda (peraturan daerah) No 14 Tahun 2011, izin tower di perpanjang setiap lima tahun sekali. Hal ini untuk mengantisipasi adanya perubahan fisik maupun non fisik pada menara telekomunikasi.

Memang, saat mengajukan pendirian tower prosedur yang harus dilewati selain melengkapi syarat administrasi pada pemerintah adalah mendapat persetujuan warga sekitar tower.  Dalam hal ini, pendiri tower harus mengantongi rekomendasi dari  warga sekitar, RT/RW, kepala desa hingga camat.

“itu dilengkapi asuransi kecelakaan bagi warga. Ada satu saja dari komponen tersebut yang tidak memberikan izin. BPPT tidak bsa menerbitkan HO maupun IMB,” tegasnya. Kemunculan menara-menara ilegal ini ditakutkan akan merusak tatanan ruang suatu wilayah.

Dikatakan Supriyadi, jarak tower dengan pemukiman minimal 500 meter. “Bukan karena radiasinya. Radiasi terletak pada pemancar yang dipucuk tower dan itu tidak berbahaya untuk makhluk yang berada dibawah tower.

Yang bahaya kalau tower itu roboh. Maka akan mengenai permukiman warga,” katanya.  Meski membatasi pertumbuhan pendirian tower, tidak bisa dipungkiri keberadaan menara telekomunikasi suatu daerah juga sangat penting untuk keberlangsungan komunikasi.

Menara telekomunikasi ini berfunsi untuk menyebar sinyal. “Kita butuh teknologi tetapi harus tetap prosedural. Ke depan kami berharap operator telekomunikasi lebih kooperatif. Agar keberadaan tetap terjaga, kami imbau agar mereka mengunakan satu tower untuk bersama,” tandasnya. (radar)