Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

50 Tahun Membujang, Hidupnya Dihabiskan Jaga Makam

JURU KUNCI: Asmat di rumahnya Desa Kalipait.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
JURU KUNCI: Asmat di rumahnya Desa Kalipait.

Asmat, termasuk juru kunci nomor kesekian dari sekian juru kunci yang pernah mengabdikan hidup menjaga dan merawat makam Eyang Suryo Bujo Negoro atau Mbah Dowo di Dusun Kutorejo, Desa Kalipait, Kecamatan Tegaldlimo. Siapa dia?

UKURAN makam Eyang Suryo Bujo Negoro tidak seperti makam pada umumnya. Makam tersebut berukuran sekitar 7 meter. Maka jangan heran jika salah satu penyebar agama Islam di tanah Jawa itu biasa disebut Mbah Dowo.

Belum diketahui secara pasti kapan Mbah Dowo wafat. Sebab, di pemakaman itu tidak disebutkan tentang hari dan tanggal meninggalnya. Apalagi, makam tersebut baru beberapa tahun terakhir ada juru kunci.

Mulai ada juru kuncinya sejak tujuh tahun lalu,” ungkap Asmat kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi. Sejak saat itu, ada beberapa juru kunci yang menjaga makam tersebut. Sebab, makam tersebut ramai dikunjungi peziarah, baik lokal maupun dari luar daerah.

Sejak ada juru kunci pertama dibangun seperti ini. Sebelumnya tidak dikeramik,” terang juru kunci asal Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, itu. Beberapa juru kunci tidak mampu bertahan lama. Berbagai alasan yang menyebabkan para juru kunci itu tidak kuat mengabdi.

Ada yang cuma 6 bulan, dan ada yang setahun,” jelasnya. Ada beberapa fenomena menarik selama dia menjadi juru kunci selama hampir empat tahun. Mayoritas para peziarah berdoa di depan makam Mbah Dowo agar diberi kemudahan mencari rezeki. “Tetapi kebanyakan peziarah datang ke sini ingin diberi keselamatan,” terangnya.

Ritual yang dilakukan adalah mengambil air di sumur tak jauh dari makam. Kemudian, air tersebut ditaruh di gelas.” Setelah doa-doa dibacakan, mereka minum air itu. Mereka juga banyak yang membawa pulang air tersebut,” ungkapnya. Asmat bertekad akan terus mendedikasikan hidupnya merawat dan menjaga makam Mbah Dowo.

Sebab, sepak terjang penyebar agama Islam sebelum Walisongo itu patut diapresiasi. “Alhamdulillah, sudah hampir empat tahun ini saya kuat hidup di tengah hutan,” paparnya. Dia mengaku masih belum memikirkan untuk berkeluarga.

Sebab, untuk berkeluarga butuh kesiapan dan kematangan. ”Nggak terasa usia saya sudah 50 tahun. Sisa hidup ini akan saya abdikan untuk menjaga makam Mbah Dowo,” janjinya. (radar)

Kata kunci yang digunakan :