Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Ada Ada Alquran Alquran Fondasi Keraton

PENDILEMAN: Lokasi petilasan Prabu Tawang Alun di Desa Gombolirang, Kabat.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
PENDILEMAN: Lokasi petilasan Prabu Tawang Alun di Desa Gombolirang, Kabat.

PRABU Tawang Alun adalah Raja Kerajaan Macan Putih sekitar tahun 1600-an silam. Saat ini, Kerajaan Macan Putih diperkirakan terletak di Dusun Cungking, Desa Gombolirang, Kecamatan Kabat. Kakak dari Wilo Broto, Sayu Melok, dan Sayu Grinsing, itu dikenal suka membaca lontar Yusuf.

Karena itu, meski Belanda menyebut Prabu Tawang Alun beragama Hindu, namun banyak sejarawan yang menyebutnya sudah masuk Islam. Benarkah? Berdasar sumber-sumber VOC, sering kita dengar bahwa Tawang Alun adalah raja yang memeluk agama Hindu. Dan, Macan Putih, kerajaan yang dia pimpin, merupakan kerajaan hindu terakhir di Pulau Jawa.

Dalam buku-buku sejarah dan surat-surat VOC, kerajaan Ma-can Putih lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Blambangan. Namun, benarkah Tawang Alun, Hindu? Banyak yang mendukung dugaan ini. Karena didukung sumber tertulis cukup kuat, dan tidak hanya satu sumber yang menyebutkan bahwa dia Hindu. Nah, mungkinkah sebenarnya Tawang Alun sudah muslim? Untuk yang satu ini, tidak ada yang bisa menjawab secara ilmiah.

Sebab, tidak ada bukti tertulis. Namun, jika pertanyaan itu dilemparkan kepada masyarakat sekitar, maka mereka akan menjawab bahwa Tawang Alun sudah muslim. Mereka menjawab bukan tanpa dasar. Melainkan ada dasarnya. Yaitu empiris di lapangan. Meski itu belum bisa dibuktikan secara ilmiah, tapi sudah cukup untuk mengeluarkan dugaan bahwa Tawang Alun sudah muslim.

Menurut Samsul, orang yang pernah mendiami reruntuhan Keraton Macan Putih selama Prabu Tawang Alun, Islam atau Bukan? Prabu Tawang Alun, Islam atau Bukan? Ada Ada Alquran Alquran Fondasi Keraton di Bawah di Bawah bertahun-tahun, di bawah tembok Keraton Macan Putih pernah ditemukan Alquran kecil dalam kotak kuning. Orang-orang menyebut itu haikal (Al-quran kecil).

Dulu, masyarakat ada yang menyebut itu Alquran produksi Istanbul. “Tapi saya tidak tahu dasar pemikirannya kenapa itu disebut Alquran Istanbul,” kata Samsul. Alquran itu tidak hanya ditemukan sekali. Tapi tiga kali di tempat berbeda pula. Satu Alquran ditemukan di dalam arena keraton. Dulu, orang sekitar menyebut area itu sebagai rumah Tawang Alun.

Atas penemuan Alquran ini, Drs. Suhalik, orang yang getol dengan budaya Blambangan, menyebut bahwa berita penemuan itu memang benar. “Memang, dulu per-nah ditemukan. Tapi kita tidak bisa langsung menyimpulkan Tawang Alun muslim. Karena tidak ada satu pun sumber yang menyebutkan itu,” kata Suhalik, beberapa saat lalu.

Yang menarik, berdasar penelusuran koran ini di lapangan, beberapa makam adik Tawang Alun, yaitu Sayu Melok dan Sayu Grinsing, membujur dari selatan ke utara. “Makam itu sebetulnya membujur ke pojok barat,” kata Samsul. Makam-makam tua yang diziarahi wartawan koran ini memang selalu membujur ke pojok barat. Hal itu diakui masyarakat sekitar.

Bahwa setiap makam tua di sana selalu membujur ke pojok barat. “Tidak ada yang berani mengubah. Dari dulu begitu. Orang menduga kalau makam-nya membujur ke barat, berarti dia sudah Islam,” kata Asyari, seorang warga sekitar. Dugaaan itu ada benarnya juga. Karena makam orang Hindu biasanya menghadapnya tidak beraturan. Disesuaikan arah laut dan gunung.

Itu pun tidak lama. Karena pas “hari baik” jenazah akan dibekur (diaben). Kecuali tidak punya dana. Mengingat itu keluarga keraton, maka tidak mungkin tidak ada dana untuk pengabenan. Nah, setelah diaben, maka makam itu tentu sudah tidak ada. “Tapi, kenapa makam itu sampai sekarang masih ada? Berarti sengaja tidak dibakar. Kalau sengaja tidak dibakar, tentu dia bukan Hindu dong,” duga Asyari.

Tawang Alun berkuasa pada tahun 1600-an. Jadi sudah lama sekali. Tapi, bagi dunia sejarah, bilangan 400-an ta-hun tergolong baru. Sehingga, masih bisa diterlusuri deviasi-deviasi yang terjadi, dan tentu hasilnya masih dekat dengan kebenaran. Nah, jika Tawang alun Hindu, tentu ada satu tempat suci sebagai tempat pembekuran (pengabenan) keluarga kerajaan.

Wartawan koran ini pun mencoba melakukan penelusuran beberapa kilometer di sekitar bekas keraton. Hasilnya nihil. Tidak ada satu pun warga yang bisa menunjukkan tempat yang dimaksud tersebut. Selain itu, wartawan koran ini juga mencari peninggalan-peninggalan Hindu seperti sanggah (tempat sesaji), pura keluarga, dan desa. Tapi juga nihil. Sebab, jika hanya 400 tahun, maka peninggalan-peninggalan yang dimaksud masih bisa ditemui walaupun bentuknya sudah hancur atau tinggal cerita.

Tetapi, jangankan peninggalan secara fisik, peninggalan berupa cerita rakyat tentang itu tidak ada sama sekali. Kecuali tempat dupa. Pun, di sekitar keraton hingga radius lima kilometer tidak ditemukan satu komunitas atau satu kelompok masyarakat yang menganut Hindu. Informasi yang banyak didapatkan koran ini dari masyarakat adalah, Tawang Alun suka membaca lontar Baginda Yusuf.

Karena leluhurnya sudah lama di-Islam-kan Maulana Ishaq. Sumber lain, di masa Tawang Alun, Syekh Siti Jenar pernah tinggal di daerah yang dikuasai Macan Putih (sekarang masuk Desa Lemahbang). Hanya itu. Ini hanya penelusuran. Bukan justifikasi pendapat. Silakan pembaca yang menilai. Apakah sumber Belanda itu benar-benar valid, ataukah empiris di lapangan yang lebih valid? (radar)