Nelayan pun kesulitan mencari ikan. Nelayan di Pantai Cemara yang sebagian besar menangkap ikan dengan cara tradisional itu tidak bisa melaut akibat kondisi tersebut. Sebagian mereka pun menganggur atau menjadi buruh di sawah. Beberapa lagi tetap menjaring ikan di tepi pantai meskipun jarang mendapat hasil. Mislan, 53, salah satu nelayan Pantai Cemara, mengaku selama dua bulan belakangan tidak melaut.
Air dari Sungai tambong yang membawa lumpur, rumput, dan kayu, menyebabkan ikan tidak ada yang di pinggir. Sebagian besar ikan kembali ke tengah laut. Padahal, kata dia, perlengkapan menangkap ikannya masih tradisional, sehingga kapalnya tidak berani terlalu jauh ke tengah laut. “Sebetulnya nelayan di sini masih bisa menjadi buruh tanam padi.
Tapi musim tanam sudah selesai. Jadi, kita sudah gak bisa jadi buruh. Paling istri-istrinya mencari kijing di tepian. Dijual Rp 3.000 per satu cangkir. Jadi, sekarang ya bisa dilihat, banyak nelayan yang duduk-duduk di rumah saja.” jelas Mislan. Menurut mislan, para nelayan bukan tanpa usaha. Sesekali mereka menyisir pantai yang airnya tidak terlalu keruh. Yang paling sering disisir adalah Pantai Kedunen dan Glondong, Kecamatan Rogojampi.
Bersama 12 nelayan lain, mislan mencari ikan dikawasan tersebut. “Biasanya hasil jaring dapat Rp 150 ribu. Dipotong bensin dan makan paling-paling satu orang dapat uang Rp 7 ribu. Mau bagaimana lagi dari pada tidak bekerja.” jelasnya. Kasino, 48, salah satu nelayan lain, mengaku tetap menebar jala di pantai meski jarang ada ikan yang tertangkap.
Kondisi cuaca yang kurang baik dan air yang tercampur lumpu memang menyebabkan ikan sulit didapat. “Kadang ada ikan ketangkap tapi tidak mesti. Biasanya ikan putihan. Ditambah ada blabur jadi tambah sulit. Nanti biasanya bulan lima sampai bulan tujuh baru cuaca membaik,” kata Kasino. (radar)