Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Anak Tanya, Dijawab Ayah Mancing ke Bali

MISKIN: Suhartini dan Endi Polkam di depan rumahnya di Kampung Ujung.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
MISKIN: Suhartini dan Endi Polkam di depan rumahnya di Kampung Ujung.
MISKIN: Suhartini dan Endi Polkam di depan rumahnya di Kampung Ujung.

Meninggalnya Faisol, 52, warga Lingkungan Kampung Ujung, Kelurahan Kepatihan, Kecamatan Banyuwangi, membuat keluarganya kehilangan. Kepedihan mendalam dirasakan istri dan anak pemilik warung kopi itu. SUHARTINI, 50, terlihat duduk dengan wajah pucat di kursi panjangdi depan rumahnya. Dengan suara li rih, perempuan itu menemui beberapa tetangganya yang sengaja da tang untuk menyatakan ikut berbelasungkawa atas kepergian suaminya.

Dengan berat hati, perempuan kelahiran Desa Aliyan, Kecamatan Ro gojampi, itu senyum saat melihat Endi Polkam, 5, putra semata wayangnya yang sedang bergaya di depan kamera saat akan dipotret Jawa Pos Radar Banyuwangi. “Endi tidak tahu kalau ayahnya meninggal,” kata Suhartini. Sejak Faisol tidak pulang terseret arus Kalilo sekitar pukul 17.00 Rabu lalu (2/1) hingga Jumat siang kemarin, selama itu pula Endi menanyakan ayahnya yang tidak pulang. Sepertinya, bocah itu kangen de ngan ayahnya. “Setiap tanya ayah nya, saya jawab ayah sedang mancing ke Bali,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Sebelum Faisol pergi untuk se lamanya, Suhartini mengaku tidak punya firasat apa pun. Hanya, suaminya pernah bercerita bermimpi di datangi ular besar yang berjalan menu ju ke rumahnya. Tetapi, ular itu meng hilang saat akan dipukul. “Di tempat jatuhnya Mas Faisol, kata war ga ada dua ular,” sebutnya. Bukan itu saja mimpi yang sempat di ceritakan almarhum pada istrinya. Ke pada Suhartini, Fasiol mengaku ber mimpi didatangi oleh orang yang cukup besar Orang besar itu terus me narik-narik tu buh suaminya. “Mungkin jatuh ke sungai, ka rena ditarik oleh orang besar itu,” kata Su hartini.

Dari raut wajahnya, Suhartini tidak bisa menyembunyikan rasa duka yang cukup mendalam. Sejak Rabu lalu perempuan itu mengaku sulit tidur dan tidak enak makan. Tidak jarang, para tetangga yang merasa iba memaksanya makan. “Saya sampai di marahi tetangga agar mau makan,” tu tur nya. Bagi Suhartini, suaminya yang meninggal dengan cara tragis itu merupakan tulang punggung keluarga. Selama ini, hanya Faisol yang mencari nafkah. “Yang bekerja suami saya itu,” terang penjual nasi bungkus dan kopi itu. Suhartini mengaku tidak tahu nasib keluarganya tanpa suaminya. Hasil jualan nasi bungkus dan kopi yang ditekuni se jak belasan tahun lalu itu kini tidak menjanjikan lagi.

“Penghasilan setiap hari sekitar Rp 20 ribu,” sebutnya. Dengan mata berkaca-kaca, dia mengisahkan bahwa sebelum tinggal di rumahnya dekat Pasar Segitiga Berlian, Banyuwangi, itu dirinya berjualan di depan Taman Blambangan. “Dulu setiap malam penghasilan rata-rata Rp 150 ribu,” sebutnya. Kebijakan pemkab menertibkan semua pedagang kaki lima (PKL) di trotoar Taman Blambangan membuat keluarga Faisol terlempar ke belakang Pasar Segitiga Berlian. “Dulu dapat Rp 150 ribu per hari, kini hanya Rp 20 ribu per hari,” katanya.

Dengan penghasilan tidak seberapa itu, Suhartini kini harus bertahan hidup sambil membesarkan putra semata wayangnya. Rumahnya yang sangat sederhana seb etulnya juga perlu diperbaiki. “Saya tinggal di sini sejak lima bulan lalu. Ini saya beliRp 500 ribu,” terangnya tanpa menyebut ke pada siapa dia membeli. Rumah yang disebut Suhartini sebenarnya hanya berupa warung nasi bungkus dan rokok. Rumah itu hanya beratap terpal biru dan berdinding gedek. Ukurannya juga tidak terlalu besar. “Ini rumah saya,” ujarnya. (radar)