Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Aset Kebanggaan Daerah Yang Semakin Tak Terurus !!!!

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

LCT-Putri-Sri-Tanjung-I

PEMBELIAN dua kapal yang beroperasi di Ketapang-Gilimanuk itu digagas mantan bupati Banyuwangi, Samsul Hadi. Dua kapal itu menjadi kebanggaan warga Banyuwangi kala itu. Saat ini kapal itu terkesan tak terawat dan terabaikan. Satu dari dua kapal itu akhirnya karam pada Rabu (8/6) di Pantai Bulusan, Kalipuro.

Karamnya kapal LCT Putri Sri Tanjung I di dermaga beaching Pantai Bulusan, Kalipuro, menjadi bukti bahwa selama ini kapal itu memang dibiarkan. Kapal itu diketahui mangkrak sejak November 2015 lantaran
PT. PBS memilih tidak melakukan docking rutin yang seharusnya dilakukan.

Mengapa tidak dilakukan docking? Alasannya karena masalah ekonomi dan regulasi. Masalah ekonomi, karena biaya docking dirasa terlalu mahal. Jika memaksa docking, perusahaan takut tidak balik modal karena terbentur regulasi. Regulasi terbaru, seluruh kapal LCT di perlintasan Ketapang-Gilimanuk tidak boleh beroperasi lagi mulai September tahun ini.

Sebuah perusahaan dalam menjalankan usaha seharusnya mengejar target yang telah ditentukan. Apa pun regulasinya, pihak perusahaan seharusnya mengikuti setiap regulasi yang ditentukan itu. Kenyataannya, PT. PBS terkesan diam di tempat. Hal itu diungkapkan Naufal Badri, anggota Komisi IV DPRD Banyuwangi yang dulu juga pengelola LCT Putri Sri Tanjung dan Putri Sri Tanjung I.

Adik kandung mantan bupati Samsul Hadi itu sangat menyesalkan manajemen perusahaan kapal. Alasan biaya docking mahal, dia anggap hanya alasan manajemen. Perusahaan juga terkesan diam di tempat dan tidak ada usaha mengejar target atas regulasi yang sudah ada. Bahkan, Naufal menyebut ada upaya pembiaran, manipulasi data, dan ada unsur kesengajaan tidak merawat kapal kebanggaan warga Banyuwangi itu.

”Manajemen saat ini terkesan santai. Sepertinya memang tidak mengejar target yang ada. Namanya perusahaan seharusnya mengejar target,” jelas Naufal. Dulu kapal itu memang menjadi aset daerah yang dibangga-banggakan warga Banyuwangi. Bahkan, LCT Putri Sri Tanjung dan Putri Sri Tanjung I juga menjadi ikon warga Banyuwangi.

Mantan wakil ketua DPRD Banyuwangi, Eko Sukartono, menyebutkan tidak hanya sebagai ikon di Banyuwangi, bahkan dengan berhasilnya  Pemkab Banyuwangi membeli dua kapal itu pada 2002 mampu mengangkat nama Banyuwangi di kancah Jawa Timur.

”Di Jatim hanya Banyuwangi yang memiliki kapal saat itu,” ujar Eko. Eko menceritakan, pembelian dua kapal itu memang merupakan gagasan bupati Samsul Hadi. Saat itu Samsul melihat ada peluang bisnis yang begitu besar di Pelabuhan Ketapang.

Namun, saat itu pemkab dan warga Banyuwangi hanyalah sebagai penonton saja. Sebab, pendapatan pelabuhan tidak ada yang masuk ke pemerintah Banyuwangi, melainkan langsung masuk ke Kementerian Perhubungan RI.

Atas keprihatinan itu, Pemkab Banyuwangi membeli dua kapal itu ke CV. Muji Rahayu Samarinda di Kalimantan. Pembelian kapal oleh Pemkab Banyuwangi itu disepakati DPRD Banyuwangi. Pada tahun 2002 kapal itu berhasil dimiliki Banyuwangi dan mulai beroperasi di lintasan penyeberangan  Ketapang-Gilimanuk.

Beroperasinya dua kapal jenis LCT itu memang mampu menambah pendapatan asli daerah (PAD) Banyuwangi. Eko menyebutkan, perusahaan kapal pengelola dua kapal saat itu selalu memenuhi target PAD. Bahkan, di era bupati Ratna Ani Lestari, menurut Eko, pihak perusahaan kapal mampu menyetor uang senilai Rp 16 miliar ke Pemkab Banyuwangi.

”Waktu dipegang Pak Naufal perusahaan ini berjalan biasa-biasa saja. Namun, saat dipegang Pak Prayudi pada zaman bupati Ratna pendapatannya cukup bagus. Nah, di era Pak Anas yang direkturnya Wahyudi SE ini merosot pendapatannya,” beber Eko.

Eko mengaku prihatin dengan manajemen PT. PBS sekarang ini. Dia juga sangat kecewa dengan Direktur PT. PBS, Wahyudi. Target PAD yang ditentukan juga tidak pernah terpenuhi. Pendapatan perusahaan tiap tahun terus merosot.

Ditambah lagi, docking kapal tahunan juga tidak dilaksanakan karena alasan dana. PT. PBS juga diketahui menunggak gaji karyawan selama dua bulan terakhir. ”Mohon maaf saja, Wahyudi itu dulu ikut survei pembelian kapal di Samarinda. Seharusnya dia ikut memperjuangkan dua kapal itu, bukannya malah menelantarkan,” jelas Eko.

Pembelian dua kapal itu memang butuh perjuangan sangat keras. Bahkan, beberapa pejabat daerah, termasuk bupati, sekretaris daerah, dan beberapa anggota DPRD, termasuk Eko Sukartono, menjadi korban kebijakan waktu itu.

”Bupati Samsul Hadi yang menjadi pencetus pembelian kapal itu juga dipenjara karena tersandung kasus korupsi, termasuk saya. Saya dipenjara selama  sembilan bulan,” terang Eko. Terlepas dari perjuangan yang telah dilakukan kepala daerah sebelumnya, Eko Sukartono berharap Bupati Abdullah Azwar Anas memperhatikan dua kapal aset rakyat Banyuwangi itu.

Dia ingin kapal itu tetap beroperasi dan perlu ada peremajaan. Sebab, kapal itu sudah jelas-jelas bisa menambah PAD Banyuwangi. Regulasi bahwa LCT dilarang beroperasi harus diikuti dengan cara, misalnya memodifikasi dua LCT itu menjadi kapal motor penumpang (KMP).

”Manajemen kapal juga harus dirombak total dengan manajemen baru yang benar-benar profesional membidangi perkapalan. Pemkab saya kira mampu melakukan peremajaan kapal,” pungkasnya.(radar)