Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Asyiknya Pelesir ke Sembulungan Naik Perahu Nelayan

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

asiknyaHabis Trekking Langsung Santap Ikan Bakar Pekan lalu kami mengunjungi Semenanjung Sembulungan, masuk wilayah Tegaldlimo. Wisata alam yang menonjol di kawasan hutan, masuk kawasan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), itu adalah hutan bambu. Ada juga Gua Lawa (gua kelelawar) dan meriam berbobot 4 ton peninggalan Jepang.

MENUJU Sembulungan bisa ditempuh lewat darat dan laut. Kalau lewat darat, pintu masuknya lewat Kalipait, Kecamatan Tegaldlimo. Perjalanan darat bisa ditempuh dengan menggunakan motor. Pakai motor medannya cukup berat dan butuh waktu lama untuk menyentuh pantai Sembulungan. Sebaliknya, kalau naik perahu, hanya butuh waktu 45 menit untuk bisa ke tepi pantai.

Start dari Pelabuhan Muncar dan fi nish tepat di bibir pantai dekat pos penjagaan TNAP sektor Sembulungan. Kebetulan rombongan kami naik perahu. Perahu bermesin diesel itu ditumpangi sepuluh orang, termasuk Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi Choliq Baya, Pemimpin Redaksi Rahman Bayu Saksono dan bagian pemasaran, Gerda Sukarno. Biar tidak tersesat, kami juga didampingi pemandu wisata. Urusan logistik, kami menyewa tukang masak. Maklum, di Sembulungan sulit mendapatkan makanan.

Sehingga, satu-satunya cara adalah ngebon tukang masak. Juru masak yang kami sewa adalah Ny. Syariat. Sehari-hari dia tinggal di Muncar, tapi punya warung di kawasan pantai Sembulungan. Lengkap sudah. Ada guide, juru masak, dan ada operator perahu. ”Pokoknya sampai di Sembulungan, konsumsi sudah siap disantap,” ujar H. Eko Sudarno, warga Muncar yang ikut dalam rombongan.

Siang itu ombak laut di perairan Muncar agak bersahabat. Praktis, perjalanan kami tidak menemukan kendala berarti. Berangkat dari Pelabuhan Muncar pukul 09.00, tiba di pantai Sembulungan pukul 09.45. Hanya terik matahari yang menyengat kulit. Selama perjalanan, kami disuguhi pemandangan rumpon-rumpon ikan di tengah laut dan rumpun lobster. View kawasan minapolitan juga terlihat indah dipandang dari timur.

Perahu dan kapal-kapal nelayan tertata rapi di muara buatan yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah tersebut. Siang itu perairan Muncar benar-benar hidup. Perahu nelayan silih berganti lewat. Ada yang berangkat melaut, ada pula yang pulang mengangkut berton-ton ikan laut. ”Saat ini sedang musim ikan, Mas. Lihat itu perahu dengan enam mesin disel pulang mengangkut berton-ton ikan,’’ ujar Robert, pemandu wisata lokal yang mendampingi rombongan kami.

Musim ikan memang menjadi berkah tersendiri bagi nelayan. Biasanya, jumlah anak buah kapal (ABK) perahu dengan mesin disel enam unit antara 40 sampai 50 orang. Mereka melaut dengan semangat tinggi. Panas bukan halangan. Besarnya ombak laut juga bukan hambatan. ”Cari ikan susahnya bukan main. Nelayan berjuang mati-matian menarik jaring. Kalau ada orang beli ikan pakai tawar-menawar, kasihan nelayan dong,” cetus Dian, warga Muncar lain yang ikut dalam rombongan pelesir.

Tak terasa perahu yang kami tumpangi sudah merapat di pantai Sembulungan Tidak banyak orang yang tinggal di sana. Jumlah bangunan per manen bisa dihitung jari. Ada pos penjagaan milik TNAP, makam Mbah Gandrung atau Mbah Kalong, dan warung milik Pak Syariat. Beberapa perahu kecil milik nelayan juga terlihat parkir di pantai. Perahu-perahu itu istirahat se jenak karena ada kerusakan ke cil. ”Pantai Sembulungan ra mai ketika ada upacara pe tik laut.

Hari-hari biasa sepi. Ramainya ketika musim te rang bulan. Banyak perahu bersandar karena sedang ada perbaikan mesin. Saat itulah warung kami ramai,’’ ujar Syariat, satu-satunya pemilik warung di Pan tai Sembulungan. Begitu turun dari perahu, kami istirahat sejenak di warung Syariat. Usai melepas le lah, kami siap-siap trekking me nerobos hutan bambu di ka wasan Sembulungan. Tujuan kami adalah melihat meriam ber bobot 4 ton peninggalan pen jajah Jepang dan Gua Lawa.

Be nar juga, ternyata sepanjang per jalanan menuju tempat itu, duri-duri pohon bambu mengusik kami. Butuh waktu satu jam lebih un tuk bisa menjangkau tempat ber sejarah itu. Selain meriam, di kawasan Sembulungan ada be lasan bungker pertahanan Je pang. Bangunan itu tidak terawat. Sebagian dinding bungker penuh coretan tangan. ”Jarang sekali orang datang melihat bungker.

Makanya bangunan ini terkesan kumuh,’’ ujar seorang petugas patroli TNAP yang kebetulan berpapasan de ngan rombongan kami. Hari beranjak siang. Pukul 13.00, kami sepakat kembali ke pantai setelah lebih dulu me lihat eksotisme Gua Lawa. Ko non ada ular sanca berukuran be sar yang ”berteduh” di dalam gua. Santapan ular tersebut adalah kelelawar-kelelawar yang memadati gua tersebut. Sayang, ketika mengintip dari mulut gua, Sanca besar itu tidak kami temukan.

Sebaliknya, yang kami rasakan bau kotoran kelelawar yang menyengat hi dung. ”Ular sancanya paling se dang sembunyi,” cetus Gerda, ba gian pemasaran Radar Ba nyuwangi yang ikut dalam rombongan. Sampai di pantai Sem bu lu ngan, kami melepas lelah. Hi danganikan bakar masakan Bu Syariat siap menanti. Dasar su dah lapar, ikan bakar yang ma sih panas itu langsung kami santap. Rasanya benar-benar mak nyus. Bumbunya te rasa dan menyengat lidah. ”Ikan bakarnya benar-benar nendang,” ujar Bayu Saksono, pemred Radar Banyuwangi. (radar)