Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Ayah Penabuh, Ibu Pelawak, Dua Anak Jadi Aktor

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Hendro-Cahyono-(kanan)-dan-Joko-Prihatin-(dua-dari-kanan)-saat-beradegan-di-atas-pentas-pada-pagelaran-Damarwulan.

PERAWAKANNYA kurus, rias di wajahnya cukup menyeramkan dengan balutan warna hitam dan merah. Kostum yang dikenakan berwarna merah, hitam, dan putih, membuat penampilannya tampak sangar. Gerak kedua tangan dan kakinya terlihat cukup lincah dan selaras dengan suara hentakan musik.

Sesekali aksi tarinya itu juga cukup kocak hingga mengundang gelak tawa penonton. Itulah karakter yang dimainkan Joko Prihatin dalam pementasan Janger sebagai Brawakan atau abangan dari Kerajaan Blambangan.

Berbeda dengan sang adik, Hendro Cahyono, justru terlihat lebih bersih. Dengan memerankan seorang prajurit di Kerajaan Majapahit yang biasa disebut Ijoan, rias wajah dan kostum yang dikenakan tampak rapi. Kedua kakak beradik  itu, setiap main bareng selalu bermusuhan.

“Darah seni mengalir dari orang tua,” cetus Joko  Prihatin alias Gatot. Kedua orang tua yang disebut itu, adalah Mariono, 60, dan Siti Nurjanah, 50. Keduanya, dikenal sebagai pemain janger yang telah lama malang melintang di dunia hiburan.

“Bapak dan ibu juga pemain janger,” terangnya. Menjadi pemain dalam kesenian janger, hampir dilakoni setiap malam. Sang ibu, telah menggeluti kesenian ini sejak 30 tahun lalu. “Ibu itu penari dan dagelan (pelawak), kalau bapak dulu penari,” katanya.

Sampai saat ini, ibunya masih sering bermain. Tapi kalau bapaknya, sudah berhenti karena usianya yang telah uzur. Tapi, masih tetap eksis  dengan ikut menabuh gamelan. “Bapak sekarang  ikut bagian penabuh,” jelasnya.

Bukan hanya itu, Mariono masih sering memberikan arahan dan semangat kepada kedua putranya untuk terus menekuni kesenian tradisional Banyuwangi. “Jadi semuanya masih eksis,” terang Gatot yang mengaku kalau siang sering main jaranan.

Bakat menari dan bermain peran, bagi Gatot  sudah digeluti sejak masih duduk di bangku  MTsN Cluring. Sejak kecil, bersama adiknya,  Hendro Cahyono, sering ikut kedua orang tuanya dalam setiap pementasan. Menjadi pemeran prajurit brawakan (abangan) dalam kesenian janger, merupakan sosok yang cukup penting.

Begitu juga dengan peran lainnya, semuanya dituntut bisa menguasai gerak tari  dan dialog bahasa Jawa. Selain lihai menari dan berbahasa Jawa, seorang pemain dalam kesenian janger juga dituntut memiliki keberanian tinggi untuk melakukan atraksi perang, yakni pemain harus  bisa salto dan memainkan jurus-jurus yang  membuat penampilan terlihat indah.

“Syarat utama harus menguasai jurus pencak silat dan salto,” ungkapnya. Tidak itu saja, di sela-sela atraksinya itu pemain juga harus mampu menghidupkan suasana, seperti memainkan atraksi yang mengundang gelak tawa penonton.

“Pagelaran itu sukses kalau penonton mampu terbawa dengan peran yang kita mainkan,” terangnya. Bermain bersama saudara, itu tidak membuat  kakak dan adik itu merasa canggung. Termasuk saat bertemu dengan ibunya. Saat harus  bermusuhan dan perang, semua dijalani dengan  tanpa beban.

“Perang di atas pentas, setelah  turun panggung ya cium tangan,” kata sang adik, Hendro Cahyono. Dari profesi yang ditekuni sebagai seniman itu,  kakak beradik itu mendapat cukup lumayan. Untuk sekali main, bisa mendapatkan honor antara Rp    80 ribu hingga Rp 100 ribu.

“Kalau main jaranan itu Rp 80 ribu, kalau janger ya Rp 100 ribu,” sebutnya. Dalam waktu sebulan, keduanya bisa  mendapatkan job mentas hingga 16 tempat. Lokasi pentas di beberapa daerah di Kabupaten Banyuwangi. Malahan, pernah main hingga ke Bali dan Kalimantan.

“Kalau sepi job ya ke  sawah, kadang juga nguli. Yang penting dapat  rezeki halal,” ujarnya. (radar)