Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Banjir Mulai Terjadi setelah Ada Permukiman

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
BANJIR: Gara-gara rumahnya terendam, Syamsuri harus rela tidur di teras rumah anaknya
Kampung RT 3 RW II di Lingkungan Karanganom, Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Banyuwangi, selalu menjadi langganan banjir rob. Hampir setiap tahun rumah warga terendam banjir akibat air laut pasang. Bahkan, akhir-akhir ini air laut pasang hingga menggenangi daratan nyaris terjadi setiap bulan. -AGUS BAIHAQI, Banyuwangi-

SYAMSURI tengah tidur pulas di teras rumah salah satu anaknya. Rumah itu memang relatif tinggi daripada rumah-rumah lain. Kakek berumur 82 tahun itu seolah tidak peduli dengan kondisi sekitarnya. Air yang mulai meninggi akibat banjir rob juga tidak dia pedulikan lagi.

Keramaian warga dan sejumlah anak-anak yang bermain air tetap tak membuat lelaki yang baru ditinggal istrinya itu peduli. “Pak Syamsuri itu mengungsi. Rumahnya di timur sudah digenangi air cukup tinggi,” ujar Sutikno, salah satu warga, sambil menunjuk lelaki tua yang tertidur pulas itu.

Tetapi, entah karena gaduh lantaran banyak wartawan berdatangan ataukah sebab lain, kakek yang mengaku pendengarannya sudah mulai berkurang itu tibatiba terbangun. “Kalau siang, saya selalu (mengungsi) ke rumah ini,” kata Syamsuri begitu bangun dari tidurnya.

Di Lingkungan Karanganom, Kelurahan Karangrejo, Syamsuri termasuk tokoh masyarakat. Bapak lima anak dan tujuh cucu itu termasuk warga yang paling awal mukim di perkampungan tersebut. “Saya datang saat masa PKI, sekitar tahun 1960-an,” terangnya.

Saat pertama datang di perkampungan yang kini dihuni sekitar 49 kepala keluarga (KK) itu, dulu di sana hanya ada tiga rumah. Sisanya adalah semak belukar. Di awal-awal kedatangannya, tidak pernah terjadi banjir rob. “Banjir seperti ini terjadi setelah banyak rumah,” cetusnya.

Wartawan koran ini sempat masuk ke rumah Syamsuri di ujung timur perkampungan itu. Lantaran lokasinya berdekatan dengan tambak, kondisi rumah Syamsuri termasuk yang paling parah tergenang rob. Di jalan menuju rumahnya, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa.

Rumah Syamsuri yang dindingnya berbahan gedhek itu terendam air cukup tinggi. Dua asbak berbahan bambu dan kayu mengapung di ruang depan. “Saat banjir seperti ini tidak bisa ditempati. Lah wong tempat tidurnya hanyut,” sebut Syamsuri.

Banjir rob yang terjadi di perkampungan itu paling parah biasanya terjadi pada pertengahan Maret dan Agustus. Selain di dua bulan itu, air laut jarang masuk ke perumahan warga. “Biasanya banjir yang paling tinggi ya Maret dan Agustus,” jelas Eko Santoso, warga yang juga menjadi korban banjir rob di Karanganom.

Menurut Eko, kampungnya menjadi langganan banjir karena lokasinya cukup dekat dengan pantai. Bahkan, ketinggian tanah di sana diduga lebih rendah dibanding pantai. “Kok  tidak segera dibangun plengsengan, katanya akan dibuat jalan tembus,” katanya.

Meski sering menjadi korban banjir dan kurang mendapat perhatian pemerintah, warga kampung tersebut tidak pernah protes. Warga yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh tani, tukang becak, pembantu rumah tangga (PRT), dan nelayan, itu hanya pasrah. “Dulu pernah dibantu mi instan sembilan bungkus,” cetus Sutikno, warga Karanganom lainnya.

Warga mengaku cenderung pasrah karena lahan yang mereka tempati bukan lahan milik sendiri. Lahan yang dipakai warga selama bertahun-tahun hingga beranak cucu itu milik PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo). “Kita hanya berhak menempati, tidak berhak menjual,” jelasnya. (radar)