Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Banyuwangi Kini Punya Destinasi Wisata Kuliner Kampung Lele

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI – Banyuwangi kini punya destinasi wisata baru berbasis kuliner, yakni kampung Lele. Kampung lele yang terletak di Dusun Krajan, Desa Kedayunan, Kecamatan Kabat, Banyuwangi ini baru saja dilaunching oleh Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, Kamis (18/10/2018).

Lahirnya kampung lele ini mendapatkan sambutan hangat dari Bupati Anas. “Saya sangat mengapresiasi sekali kreativitas yang muncul dari bawah. Prakarsa dari bawah itu penting sebab kelompok-kelompok masyarakat bisa melihat potensi desa dan mengembangkannya,” kata Anas.

Seperti yang Anas saksikan hari ini, masyarakat tak sekedar punya kolam dan membudidayakan lele saja, tapi mereka juga mampu membuat makanan-makanan olahan berbahan dasar lele.

“Makanan olahan disini yang berasal dari lele saya cicipi enak-enak kok. Tinggal bagaimana makanan olahan rumah tangga ini kita jadikan produk yang dikaitkan dengan pariwisata,” ujar Anas yang sempat berkeliling ke meja –meja tempat ibu-ibu PKK mendisplay makanan olahan dari lele.

Berbagai olahan serba lele tampak tersaji dengan cantik sebagai lauk yang menemani nasi putih, nasi kuning dan nasi jagung. Mulai dari plecing lele, perkedel lele, lele bakar, hingga dendeng lele kelapa. Juga ada lele kothok kemangi pedas, mangut lele, lele bumbu acar, pepes lele selimut ontong, lele pedas, dan lele sambal kemangi.

Keberadaan kuliner, kata Anas, menjadi kekuatan dan daya tarik tersendiri. Apalagi, imbuhnya, masyarakat Kabat kini punya ikon ruang terbuka hijau (RTH) baru yang didesain dengan konsep futuristik oleh arsitek kenamaan, Yori Antar.

“Masyarakat bisa memanfaatkan RTH ini, misal di malam minggu diadakan pertunjukan-pertunjukan yang diisi oleh anak-anak kita. Nah disitu orang bisa sambil menikmati kuliner nasi hangat lele dan hidangan serba lele lainnya, semacam food street begitu. Ini jadi kekuatan tersendiri, dimana kesenian digabungkan dengan kuliner,” tandas Anas.

Anas juga berharap warung-warung yang ada di dalam pemukiman warga juga bisa menyediakan makanan olahan dari lele. Sehingga jika sewaktu-waktu ada tamu yang berkunjung, mereka mudah untuk mencari kuliner air tawar ini.

“Kalau desa ini membranding diri sebagai kampung lele, maka sebaiknya kampung-kampung warga di dalam pemukiman juga menjual kuliner ini. Lebih bagus lagi kalau lelenya juga diperlihatkan kepada wisatawan lewat kolam-kolam yang sehat dan enak dipandang. Sehingga mereka yakin bahwa ikan yang dikonsumsinya sehat, bahkan mereka bisa memilih sendiri ikan lele yang ingin dimakannya di kolamnya langsung,” ujar Anas.

Sementara itu, Camat Kabat, Susanto Wibowo menambahkan, di Desa Kedayunan terdapat kelompok pembudidaya ikan (pokdakan) Gandrung Lele. Hingga saat ini total ada 52 pembudidaya ikan lele yang tergabung di dalamnya termasuk ibu-ibu.

“Meski pokdakan ini terbentuknya tahun 2017 lalu, tapi keantusiasan mereka dalam mengembangkan budidaya lele memberikan hasil yang menggembirakan. “Dengan dilaunchingnya kampung lele ini, semoga ke depan semakin membuat masyarakat semangat untuk budidaya lele dan pengolahannya sehingga memberikan nilai tambah bagi perekonomian mereka,” tukas Susanto.

Di Kecamatan Kabat, lanjut Susanto, terdapat 14 desa dengan berbagai potensi. Pemerintah Kecamatan Kabat bersepakat, di tahun 2018 untuk meningkatkan program pengembangan desa yang semula One Village One Product (OVOP) menjadi One Village One Destination (OVOD).

“Jadi kami terus mengembangkan potensi tiap-tiap desa, sehingga layak untuk menjadi destinasi wisata baru,” terangnya.

Hal senada disampaikan Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi, Suryono Bintang Samudra.

“Desa Kedayunan ini merupakan desa binaan kami yang begitu antusias dengan budidaya lele. Menindaklanjuti program pemkab terkait 100 ribu kolam ikan, sekarang masing-masing rumah tangga punya kolam di pekarangannya sendiri-sendiri,” jelas Suryono.

Untuk menyiasati agar lele tak hanya dijual dalam bentuk mentah, Suryono bersama para penyuluh lainnya mencoba melakukan diversifikasi pangan, sehingga masyarakat benar-benar bisa meningkat perekonomiannya lewat budidaya lele ini.

“Selama ini kita menjual lele di pasar lokal, paling jauh sampai di Bali. Kalau di Bali size lele yang laku 6-8 cm, sementara di Banyuwangi 8-12 cm. Kalau ini hanya kita jual dalam bentuk segar, harga jualnya hanya Rp 14 – 15 ribu per kg. Karena itu kita coba bikin diversifikasi pangan lewat makanan olahan dari lele,” kata Suryono.

Bukan bakso, abon atau krupuk lele yang dipilih sebagai diversifikasi pangan, melainkan makanan olahan lainnya yang membuat lele lebih terkesan mahal.

“Kami mengundang chef dari Singgasana Unagi Indonesia (SUI) secara khusus untuk mengajari warga bagaimana cara membuat lele seperti masakan unagi (sidat). Jadi lele difillet (dipisahkan duri dan dagingnya) kemudian diolah dan dibumbui seperti masakan unagi kabayaki yang begitu digemari di Jepang. Ternyata ketika lele dimasak seperti itu, cita rasa dan tampilannya pun tak kalah dengan unagi. Bahkan warga pun juga belajar mengolah lele presto dengan bumbu sarden. Kami berharap perekonomian masyarakat bisa lebih meningkat lewat upaya ini,” pungkas Suryono.