Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

BEC Jadi Etalase Seni-Budaya Banyuwangi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) 2017

BANYUWANGI – Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) telah memasuki edisi ketujuh. Rutin digelar sejak 2011, karnaval etnik kontemporer tersebut menjadi etalase seni dan budaya Banyuwangi karena konsisten mengangkat tema yang bersumber dari budaya dan tradisi masyarakat kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini.

Pada perhelatan pertama kali di tahun 2011 silam, BEC mengangkat tema “Gandrung, Damarwulan, dan Kundaran”. Gandrung merupakan seni pertunjukan yang didominasi tarian dan diiringi orkestra khas, yakni Gamelan Oseng.

Awalnya, tarian ini dibawakan laki-laki dan dimanfaatkan sebagai media konsolidasi kekuatan rakyat Bumi Blambangan sekaligus siasat melawan penjajah Belanda. Sedangkan Damarwulan merupakan seni teater tradisional yang bersumber pada cerita dalam serat Damarwulan, serat Kandha, serta layang babad.

Saat ini Damarwulan lahir sebagai instalasi seni pertunjukan dengan dasar cerita menggambarkan peperangan muara Majapahit dengan Blambangan, termasuk kisah Minak Jinggo, Damarwulan, dan Kenconowungu.

Sementara itu, seni Kundaran lahir pasca runtuhnya kerajaan Majapahit. Kala itu, pengaruh Islam telah mewarnai seni dan budaya di Bumi Blambangan. Salah satunya terlihat pada seni Kundaran yang awalnya dibawakan para pria. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Kundaran ditarikan oleh wanita dengan gerak tari yang dinamis namun masih tampak nilai-nilai Islam.

Pada edisi kedua, tepatnya tahun 2012, BEC mengangkat tema Re-Barong Using. Tema Baron dipilih lantaran kesenian yang satu ini sangat dikenal dan mengakar kuat di masyarakat Banyuwangi.

Barong sebenarnya merupakan kesenian yang berkembang di Banyuwangi dan Bali. Namun, khusus barong yang berkembang di Banyuwangi, ada semacam asimilasi dengan budaya lokal yang lain. Karena itu, Barong Banyuwangi disebut Barong Oseng.

Menginjak edisi ketiga, BEC mengangkat tema “The Legend of Kebo-Keban”. Kebo-keboan merupakan ritual adat yang berkembang di dua desa di Banyuwangi yakni Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh dan Desa Aliyam, Kecamatan Rogojampi.

Dalam tradisi kebo-keboan, beberapa laki-Laki berdandan layaknya kerbau lengkap dengan tanduk di kepala. Sekujur tubuh manusia kerbau itu berbalut cat warna hitam. Tradisi unik ini digelar sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah.

Sementara itu, pada 2014, BEC mengangkat tema “Mystic Dance of Seblangi”. Seblang merupakan tarian ritual masyarakat Oseng suku asli Bangyuwangin. Tari yang dibawakan dalam keadaan trance tersebut merupakan bentuk syukur atas panen yang melimpah di kalangan masyarakat Banyuwangi yang mayoritas bergerak di bidang pertanian.

Ritual Seblang rutin digelar di Desa Olehsari dan Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah. Seblang Bakungan dibawakan perempuan yang telah menopause dan digelar pasca Idul Adha, sedangkan Seblang Oleh sari dibawakan gadis yang masih belum menginjak masa puber alias belum menstruasi. Seblang Oleh sari di gelar setiap tahun, tepatnya tujuh hari berturut-turut setelah idul Fitri.

Sedangkan pada edisi kelima, BEC mengangkat tema “The Usingnese Royal Wedding”. Kala itu, ratusan talent memeragakan ragam pengantin ala Banyuwangi dalam balutan kostum kontemporer. Talent terbagi dalam tiga sub tema, yakni Sembur Kemuning, Mupus Braen Blambangan, dan Sekar Kedaton Wetan.

Sembur Kemuning merupakan upacara adat pengantin masyarakat pesisiran di Banyuwangi. Kostum yang dikenakan didominasi warna kuning, orange, dan ungu. Sementara itu, Mupus Braen Blambangan yang didominasi warna merah, hitam, dan emas merupakan upacara adat pengantin masyarakat kelas menengah.

Sekar Kedaton heran, merupakan upacara adat untuk pengantin kaum bangsawan yang diperagakan penampil dengan kostum dominasi warna hijau dan perak. Lebih lanjut, BEC tahun lalu alias edisi keenam, menampilkan tema “The Legend of Sritanjung Sidopekso”.

Tema ini diambil dari tokoh-tokoh yang ada pada legenda asal-usul nama Banyuwangi, yakni Putri Sritanjung, Patih Sidopekso, dan Raja Blambangan, Prabu Sulahadikromo.

Legenda ini merupakan kisah tentang kesetiaan istri Sidopekso, yakni Putri Sritanjung. Kesetiaan itu berakhir duka lantaran Patih Sidopekso mendapat cerita bohong dari sang raja, Prabu Sulahadikromo yang jatuh cinta pada Sritanjung.

Sulahadikromo mengatakan bahwa Sritanjung jatuh cints kepada dirinya. Mendengar cerita itu, Sidopekso murka dan berniat membunuh sang istri. Namun, sebelum dibunuh, Sritanjung sempat mengatakan bahwa cerita yang di dengar suaminya adalah fitnah. Sritanjung lantas bersumpah, apabila yang dituduhkan kepada dirinya tidak benar, maka jasadnya akan mengeluarkan bau harum.

Untuk membuktikan kesetiaannya, Sritanjung rela dibunuh. Sebelum dibunuh Sritanjuug meminta jasadnya dibuang ke sungai. Benar saja, setelaj jasad Sritanjung d ibuang ke sungai, air (banyu) sungai tersebut mengeluarkan bau wangi. ltulah asal mula nama Banyuwangi.

Bupati Abdullah Azwar Anas mengatakan, pemilihan tema BEC setiap tahun merupakan hasil diskusi dengan sejumlah budayawan dan seniman Banyuwangi, termasuk seniman dan budayawan yang tetbit pun dalam Dewan Kesenian Blambangan (DKB).

“Karena para seniman dan budayawan jumlah yang lebih tahu tentang tradisi serta budaya yang berkembang di Banyuwangi. (radar)