Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Bhatara Kala hanya Bisa Dikerjakan selama Bulan Suro

Tukul Siswandi membuat wayang ditemani cucunya di teras rumahnya, Desa Kesilir, Silragung, kmarin.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Tukul Siswandi membuat wayang ditemani cucunya di teras rumahnya, Desa Kesilir, Silragung, kmarin.

Bulan Sura atau Muharram identik dengan sejumlah kegiatan budaya, termasuk pergelaran wayang kulit untuk tujuan ritual Sukerta. Saat ini tidak banyak perajin wayang kulit di Banyuwangi. Tukul Siwandi merupakan satu dari sedikit perajin wayang yang bertahan hingga kini.

SHULHAN HADI, Siliragung

PEMANDANGAN di salah satu rumah di RT 3, RW 3, Dusun Sumbersuko, Desa Kesilir, Kecamatan Siliragung tampak berbeda. Di dua rumah yang dipisahkan oleh garasi mobil tersebut tampak sejumlah wayang dan kuda lumping di-Jejer.

Sementara itu, tiga laki-laki dengan rentang usia anak-anak, remaja, dan kakek-kakek tampak sibuk dengan pahatan yang sedang diselesaikan. Bagi warga sekitar lokasi, penumpangan tersebut merupakan kegiatan rutin sehari-hari di rumah Tukul Siswandi, 73.

Sore itu, pasangan cucu kakek ini sedang berusaha memahat pola-pola rumit di atas kulit sapi yang telah disamak dan dikeringkan. Dengan sabar dan teliti, Tukul Siswandi, bersama kedua cucunya, Faesal Arif, 20, Aden Panji Ashari Karamullah, 9 berulang kali mengarahkan alat pahat untuk melubangi dan membuat pola-pola di atas selembar kulit untuk dibentuk menjadi karakter wayang.

Sembari melakukan pekerjaan itu, Pak Tukul menceritakan keahlian ini dia dapat secara otodidak, tepatnya belajar dari orang tuanya. Darah seni yang mengalir di keluarganya tidak lain menjadikan dirinya akrab dengan dunia wayang. “Saya sejak kelas 4 SR (sekolah rakyat. Red) sudah bisa natah (memahat kulit, Red),” terangnya.

Kala itu, keahlian tersebut masih bersifat hobi. Dia lebih banyak mendapatkan pemasukan dari aktivitas kesenian seperti menari dalam sebuah pementasan praburoro atau kesenian lain seperti jaranan. Begitu usianya menginjak senja, dia mulai berpikir untuk mengurangi aktivitas di atas panggung.

Saat itu, dia mulai memikirkan agar bisa lebih banyak istirahat, namun tetap kaitan dengan dunia kesenian. “Masa sampai tua menari di panggung, saya akhirnya menekuni pembuatan wayang ini,” ungkapnya.

Seiring perkembangan waktu, aktivitasnya membuat wayang mulai diketahui banyak orang. Meski langganan utamanya adalah kalangan dalang dan kolektor. Namun, pak Tukul juga masih melayani pemesanan kebutuhan kesenian lainnya seperti jamuan buto atau omprog gandrung. “Kadang ya, buat jaranan juga, Dik.” ucapnya.

Setelah menikah dengan Kusringah, darah seni ini justru terhenti di anaknya. Kebetulan dua anaknya adalah perempuan, yakni Wahyu Widayati dan Dwi Ariasih. Namun, bakat tersebut justru menurun kepada dua cucu dari kedua anaknya ini.

Saat ini, Faesal Arif, 20, anak Wahyu Widayati dan Aden Panji Ashari Karamullah, 9, anak dari putri keduanya Dwi Ariasih sehari-hari menemani pak Tukul bekerja. “Anak saya perempuan, yang bisa malah cucunya,” jelasnya.

Tidak ada ritual khusus untuk memulai pembuatan wayang, mulai dari pemesanan kulit hinga proses pemahatan hingga sungging (pewarnaan) semua dilakukan dengan normal. Hanya saja, untuk membuat karakter gunungan dan Bhatara Kala, laki-laki yang mengawali profesi sebagai tukang foto keliling ini mengaku hanya bisa mengerjakan saat bulan Muharram.

“Kalau guntingan dan Bhatara Kala selalu Suro, selain itu kapan saja bisa, termasuk Durga itu kapan saja bisa,” ucapnya. Meski terdengar seperti mitos, namun jika hal ini dilanggar, ada saja dampak yang terjadi. Dan hal itu pernah terjadi. “Bisanya kalau nekat bikin saat Suro, ada keluarga yang sakit,” ungkapnya.

Dibandingkan jaranan yang berukuran besar, membuat wayang tentu memiliki kerumitan tersendiri. Pola yang kecil dan rumit membutuhkan penyelesaian waktu yang tidak sebentar. Baik Tukul maupun kedua cucunya mengakui hal tersebut.

Terlebih, jika satu karakter wayang dipesan oleh kolektor, bisa dipastikan pembuatannya harus ekstra hati-hati, karena mereka sering kali meminta garapan yang halus dan kadang memiliki desain tersendiri.

“Kolektor minta gini, ada animasi, tatahan minta lembut,” ucap Faesal sembari menunjukkan wayang karakter Setyaki miliknya.

Untuk menyelesaikan satu karakter wayang, setidaknya dibutuhkan waktu sekitar sepuluh hari, sedangkan untuk penyelesaian satu kotak wayang, dari pengerjaan yang sudah dilakukan membutuhkan waktu hingga setahun.

Jumlah karakter mencapai 150 hingga 200 tokoh wayang. Jika harga satu wayang mulai Rp 300 ribu hingga di atas Rp 1 juta, maka satu kotak wayang biaya borongannya bisa mencapai Rp 65 juta. “Satu kotak itu selesai satu tahun, Mas. Habisnya sekitar Rp 65 juta,” tandasnya. (radar)