Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Biaya Bimbingan Belajar Dorong Inflasi Naik

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Inflasi BWI Juli 2017

BANYUWANGI – Upaya pengendalian inflasi alias kenaikan harga barang dan jasa secara umum di Banyuwangi kembali menuai hasil menggembirakan. Secara tahunan, inflasi Banyuwangi pada Juli 2017 hanya sebesar 2.68 persen, lebih rendah dibandingkan inflasi Jatim sebesar 4,02 persen dan nasional sebesar 3,88 persen.

Data Tim Teknis Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Banyuwangi, pada Juli tahun ini, inflasi Banyuwangi secara month to month (mtm) sebesar 0,15 persen. Artinya, dibandingkan Juni 2017, perkembangan harga barang dan jasa secara umum di kabupaten ujung timur Pulau Jawa ini naik tipis.

Sebagai gambaran, suatu barang yang pada juni lalu dijual seharga Rp 10.000, pada Juli naik menjadi lip 10.015. Sedangkan secara tahunan alias year on year (yoy), inflasi Banyuwangi pada Juli tercatat sebesar 2,68 persen.

Data ini menunjukkan, barang dan jasa yang pada Juli 2016 dihargai sebesar Rp 10.000, pada Juli 2017 naik menjadi Rp 10.268. inflasi Banyuwangi pada Juli 2017 secara mtm sebenarnya sedikit lebih tinggi dibandingkan inflasi di salah satu kabupaten tetangga, yakni Jember.

Pada periode yang sama, Jember hanya mengalami inflasi sebesar 0,07 persen. Namun, jika dihitung secara yay, inflasi Banyuwangi pada Juli tahun ini jauh lebih rendah dibandingkan Jember. Selisih inflasi dua kabupaten bertetangga, ini nyaris mencapai-satu persen.

“Inflasi Banyuwangi yoy pada Juli sebesar 2,68 persen, sedangkan Jember sebesar 3,63 persen,” ujar Kepala Kantor Perwakilan Wilayah (KpW) Bank Indonesia (Bl) Jember, Achmad Bunyamin coffee morning dengan Bupati Abdullah Azwar di Pendapa Sabha Swagata Blambangan kemarin (21/8).

Inflasi yoy Banyuwangi pada Juii 2017 merupakan yang terendah di Jatim. Pada periode yang sama, tujuh kabupaten/kota indeks harga konsumen (IHK) yang lain, di antaranya Surabaya mengalami inflasi 4,2 persen, Madiun 4,64 persen, Probolinggo 2,75 persen, Malang 4,48 persen, Kediri 3,2 persen, Sumenep 3,19 persen, dan Jember 3,36 persen.

Sementara itu, sektor core inflation alias inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum, menjadi faktor pendorong inflasi terbesar pada Juli tahun ini.

Kelompok yang satu ini mengalami inflasi sebesar 0,24 dan memberikan andil terhadap inflasi secara keseluruhan pada Juli mtm sebesar 0,13 persen. Kelompok core inflation diketahui mengalami inflasi sebesar 0,24 persen (mtm) akibat kenaikan harga sepeda motor, bimbingan belajar menjelang tahun ajaran baru, dan olahan ikan asin seperti ikan teri dan ikan asin belah.

Biaya bimbingan belajar mengalami kenaikan sebesar 8,49 persen dan memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,034 persen karena dampak dimulainya tahun ajaran baru. Sedangkan kenaikan olahan ikan asin dipengaruhi oleh kenalkan harga garam.

Selain itu, sektor volatile foods alias komponen bergejolak yang dominan dipengaruhi shock alias kejutan dalam kelompok bahan makanan, juga menjadi faktor pendorong inflasi pada bulan lalu.

Kelompok volatile foods mengalami inflasi akibat kenaikan harga tongkol, cabai rawit, apel, bawang merah, jeruk dan ayam kampung. Komoditas ikan mengalami kenaikan disebabkan kondisi cuaca yang tidak mendukung penangkapan ikan laut.

Sedangkan peningkatan komoditas cabai rawit dan bawang merah disebabkan rendahnya kapasitas produksi pada periode bulan sebelumnya. Yang menarik, sektor administered price alias harga barang atau jasa yang diatur pemerintab, misalnya harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik, justru menahan laju inflasi.

Sektor tersebut mengalami penurunan harga. Penurunan harga tertinggi pada periode ini adalah tarif angkutan udara sebesar 3,67 persen dan penurunan harga gas elpiji ukuran tiga kilogram (kg) sebesar 0,11 persen. Tarif angkutan udara sudah berangsur-angsur turun setelah berakhirnya momen arus balik Lebaran.

Bupati Anas, mengatakan rendahnya inflasi tersebut menunjukkan bahwa kinerja makro ekonomi Banyuwangi cukup baik. “Maka, ini perlu kita jaga bersama-sama. Jika inflasi terkendali, daya beli masyarakat pun terjaga,” ujarnya.

Bunyamin menilai, perekonomian Banyuwangi berjalan pada jalur yang tepat alias on the right track. Sebab-selain inflasi yang terkendali, angka pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kredit di Banyuwangi menunjukkan tren positif.

Bunyamin mengatakan, kondisi perekonomian global dan nasional kini tengah mengalami perlambatan. Pertumbuhan ekonomi Banyuwangi, kata dia, meskipun terimbas perlambatan tersebut tetap tumbuh di angka 5,3 persen.

“Pertumbuhan ekonomi Banyuwangi terbilang baik karena ditopang dengan tingkat inflasi daerah yang rendah. Inflasi Banyuwangi secara yoy sebesar 2,68 persen, lebih rendah dari inflasi Jawa Timur dan nasional. Secara umum perekonomian Banyuwangi berada on the right track,” kata Bunyamin.

Kondisi perekonomian Banyuwangi yang berjalan baik itu, kata Bunyamin juga tercermin dari serapan kredit yang digelontorkan oleh perbankan baik nasional maupun swasta di Banyuwangi.

Tercatat angka loan to deposit ratio (LDR) atau jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan mencapai 108 persen dengan non pelforming loan (NPL) yang rendah. Jumlah LDR tersebut mencerminkan kinerja perbankan yang sangat maksimal dalam menyalurkan kredit.

“Kabar baiknya, struktur kredit yang disalurkan oleh perbankan di Banyuwangi sebagian besar untuk modal kerja sedangkan kredit konsumtifnya mengalami penurunan. Ini berarti ada nilai tambah karena kredit yang disalurkan untuk kepentingan produktif,” ujar Bunyamin.

Senada dengan Bunyamin, Kepala Bank Jatim Banyuwangi, Arief Wicaksono, mengatakan saat ini penyaluran kredit di Bank Jatim didominasi untuk modal kerja. Rinciannya, sebesar 60 persen untuk kredit produktif dan 40 persen kredit komsumtif.

“Kredit produktif kami sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur di Banyuwangi,” kata Arief. (radar)