Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Blusukan ke Desa-desa, Antar-jemput Siswa secara Gratis

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

SDLB Mata Hati berada persis di depan Mapolres Banyuwangi. Melewati gang sempit ke arah selatan sekitar 100 meter. Lokasi bangunannya sama sekali tidak seperti sekolah umumnya. Maklum, lembaga sekolah di bawah naungan Yayasan Mata Hati tersebut hanya menempati sebuah rumah biasa.

Ruang kelas sekolah itu juga terbuka, tidak terdapat pintu dan jendela.  Sebuah bangunan gedung terbuka mirip aula hanya disekat kelambu kain. Ukuran ruang  kelas itu hanya sekitar tiga kali  delapan meter. Ruang kelas tersebut juga tidak sama dengan ruang kelas sekolah  umumnya yang terdapat papan  tulis, meja, dan kursi yang berjajar rapi.

Jika dinding sekolah pada umumnya terdapat gambar atau  foto pahlawan nasional, di sekolah  itu hanya ada sebuah peralatan mirip alat peraga. Jika di sekolah pada umumnya satu guru menjadi tenaga pengajar siswa satu kelas yang berjumlah puluhan, di sekolah itu satu guru menangani satu anak berkebu tuhan  khusus dengan multiple difabel atau memiliki hambatan lebih dari dua,  seperti mengalami hambatan  penglihatan disertai hambatan pendengaran dan wicara.

Siswa satu dan lainnya memiliki  hambatan yang berbeda-beda.  Anak di sekolah itu dilatih berkomunikasi dengan orang lain,  memahami perintah, tugas, dan melakukan aktivitas secara mandiri. Di sisi lain mereka juga mulai diajarkan mengenal huruf, angka, dan membaca, serta menulis.

Tidak mudah melakukan komunikasi dengan para anak berkebutuhan khusus dengan tuna  ganda tersebut. Apalagi, mengajari mereka tentang aktivitas sehari- hari, mulai duduk, makan, minum, hingga mencuci piring sendiri. Butuh waktu dan proses yang tidak singkat.

“Kami dua bulan baru bisa mengubah kondisi anak dari semula liar hingga mulai bisa mandiri,” ungkap salah seorang tenaga pengajar, Masfufah, 45.  Masfufa mengaku mendirikan sekolah dasar luar biasa itu karena keprihatinannya terhadap perkembangan anak berkebutuhan khusus yang kerap mendapat diskri minasi dan kurang mendapatkan hak-haknya, seperti hak  pendidikan, hak kesehatan, dan hak lainnya.

Meski sebetulnya tugas itu adalah kewajiban negara. Namun, faktanya masih banyak ditemukan anak-anak berkebutuhan khusus masih mendapat diskriminasi dan belum mendapatkan hak  yang layak. Oleh karena itu, butuh  peran serta masyarakat dalam membantu layanan orang dengan  penyandang disabilitas tersebut.

Para penyandang tuna ganda kerap kesulitan mengakses  sekolah. Lahir dari keprihatinan  itulah, sejak tahun 2012 lalu mulai muncul kesadaran menjaring  anak-anak berkebutuhan khusus  yang mengalami tunda ganda. Anak-anak tersebut di tampung di rumahnya dan dibuatkan mirip  semacam ruang kelas belajar.

Meski seorang diri, dia berkomitmen mengabdikan hidupnya bagi anak-anak penyandang  disa bilitas tersebut. Seiring  berjalannya waktu, mulai ada kesadaran sejumlah mahasiswi  dari Unesa Surabaya dan Poliwangi yang ikut membantu menjadi relawan di SDLB Mata Hati tersebut.

Para guru relawan tersebut juga ikut menjaring anak berkebutuhan khusus tuna ganda di berbagai desa. Tidak tanggung-tanggung, selain memberikan penyadaran kepada orang tua anak berkebutuhan khusus agar sekolah, para relawan itu juga rutin membonceng antar-jemput siswa dari desa agar bersekolah di SDLB  selama dua tahun.

“Setelah dua tahun bersekolah di SDLB, para  orang tua baru merasakan perkembangan menonjol pada  diri anak-anak mereka dan sekarang para orang tua mau menjemput saat pulang sekolah,” katanya.  Awalnya, para mahasiswa itu  mengunjungi SDLB Mata Hati  dalam rangka menyelesaikan tugas akhir kuliah. Tetapi, akhirnya mereka justru bergabung  karena peduli terhadap anak- anak berkebutuhan khusus.

Yang lebih menggembirakan, setelah menyelesaikan tugas akhir kuliah, para mahasiswa tersebut tidak hanya sekadar bergabung sebagai  tenaga pengajar. Mereka juga  membuat aplikasi informasi teknologi (IT) yang diberi nama task analysis (analisis tugas).

Aplikasi task analysis tersebut digunakan untuk mengetahui hasil  program pembelajaran masing- masing anak berkebutuhan khusus dengan memasukkan sejumlah  klausul penilaian kelas kronologis dan kemampuan. Aplikasi itu  memudahkan para pengajar dalam  memantau perkem bangan kondisi para siswa di rumah belajar Mata  Hati tersebut.

“Idealnya, menangani anak berkebutuhan khusus itu perlu ada guru, orang tua, psikolog, dan terapis,” terang ibu dua anak itu. Dia mencontohkan, salah satu anak berkebutuhan khusus, Farel Dedi Ramadan, 11. Anak itu mengalami hambatan pada penglihatan disertai hambatan pendengaran dan wicara.

Praktis, untuk bisa berkomunikasi hanya bisa dilakukan dengan sistem hand under hand atau isyarat tangan  di bawah tangan.  Awal saat masuk di SDLB tersebut, kondisinya sangat liar. Berjalan semaunya, mengamuk, dan merusak peralatan elektronik,  seperti televisi dan barang-barang  lain.

Namun, hal itu dianggap sebuah kewajaran, karena bocah itu tidak bisa melakukan interaksi  dengan di sekelilingnya, karena mengalami hambatan pada penglihatan disertai hambatan  pendengaran dan wicara.  Setelah beberapa bulan berada di SDLB, Farel mulai dikenalkan dengan sistem kalender, semacam kamus untuk berkomunikasi dengan Farel, misalnya dengan  meletakkan tasbih sebagai  lambang berdoa, piring sebagai tanda lapar, menunjuk gelas sebagai tanda minum, dan lain-lain.

Setelah melalui sistem  kalender itu, kini Farel sudah mulai mandiri melakukan interaksi pada guru dan lingkungan sekitarnya menggunakan hand under hand atau isyarat tangan di bawah tangan. “Farel IQ-nya masih normal, hanya mengalami  hambatan pada penglihatan disertai hambatan pendengaran  dan wicara,” cetusnya.

Saat ini dia juga sedang mempersiapkan aplikasi yang mampu membuat Farel bisa berkomunikasi dengan siapa pun.  Pasalnya, hanya orang tertentu yang paham dengan isyarat tangan di bawah tangan tersebut.  Jika ada aplikasi yang memudahkan, maka akan memudahkan penyandang disabilitas ganda seperti Farel.

Ada juga siswa lain, seperti Iis,  yang mengalami tunanetra dan tunagrahita, yakni ketuanaan IQ di bawah rata-rata. Bisa mendengar melainkan tidak bisa  menerjemahkan perintah atau makna. Sehingga, jika diajak berkomunikasi hanya membeoatau menirukan perintah yang diucapkan.

Tidak hanya itu, ada juga siswa yang mengalami cacat berat, cerebral palsy atau gangguan gerakan, otot, atau postur, yang disebabkan cedera atau perkembangan abnormal di otak. Tidak mampu berjalan dan harus dudukdi atas kursi roda. Namun, masih bisa diajak berbicara dan mendengar.

Mereka terus dilatih menulis. Saat ini hanya menulisdengan cara mengetik pada keyboard perangkat komputer. “Dua siswa kami, Syaif dan Ifo,yang mengalami cerebral palsy juga mulai akan membuat buku dengan mengetik di perangkat komputer,” jelasnya.

Di balik pendirian SDLB tunaganda itu, Masfufah hanya berharap orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tidak putus asa, karena pada dasarnya mereka bisa berkembang ketika  mendapat perlakuan tepat.  “Semoga ke depan ada rehabilitasi  berbasis masyarakat untuk men- support anak berkebutuhan khusus,” tandasnya. (radar)