Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Cerai Susuk di Kabupaten Banyuwangi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Banyak Perempuan TKI Ajukan Cerai dan Biayai Sendiri

DI rumah yang berlokasi di RT 3, RW 4, Dusun Bangorejo Sere, Desa/Kecamatan Bangorejo, terlihat ada tumpukan makalah dan kertas yang tertata rapi di meja. Seorang ibu muda, Lilit Biati, 36, dengan dua anaknya tampak membolak-balik kertas  print out hasil penelitian yang dikerjakan.

Berkas hasil penelitian yang sudah di jilid itu, hasil penelitian yang dilakukan bersama dua rekannya di IAI Darussalam, Blokagung,  Kecamatan Tegalsari selama enam bulan yang  rampung pada Desember 2016.  Penelitian yang dilakukan Lilit itu cukup menarik, yakni Cerai susuk dengan objek pasangan suami istri (pasutri) yang menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI).

“Ini fakta di Banyuwangi, TKI banyak yang cerai, “katanya. Dalam penelitian dengan judul, Cerai Susuk di Kabupaten Banyuwangi (studi kasus dampak  tenaga kerja wanita migrant terhadap keharmonisan rumah tangga), banyak perceraian yang dilakukan oleh TKI itu dilakukan oleh  pihak istri.

“Justru istri yang menuntut cerai dan tidak ada rasa penyesalan, ”ungkapnya. Saat istri itu mengajukan cerai, ternyata juga  siap untuk membiayai semua perkara yang akan ditimbulkan di Pengadilan Agama (PA).  “Istri yang membiayai perceraian itu dianggap nyusu’i (cerai susuk), karena saat nikah suami yang membayar mahar, ” cetusnya.

Istilah cerai susuk ini ternyata cukup populer di masyarakat, terutama di pedesaan yang warganya banyak menjadi TKI dan cerai. “Awalnya saya juga kaget mendengar ada ibu bilang itu si  Fulan baru disusuk’i (dicerai) oleh istrinya, ” katanya.

Dalam cerai susuk ini pihak istri tidak hanya  membayar semua keperluan dalam proses perceraian di PA. Tapi, bila ada keperluan lain yang berhubungan dengan perceraian, ditanggung oleh pihak istri. Pihak pria tinggal datang di PA dan menandatangani berkas yang disiapkan  oleh pihak perempuan.

“Laki-lakinya tinggal tanda tangan,” ucapnya. Dalam cerai susuk ini, istri yang mengajukan cerai itu kebanyakan yang menjadi TKI. Mereka berani menanggung semua biaya perceraian karena merasa lebih mampu dari suaminya. ”Padahal saat akan berangkat menjadi TKI, suami yang membiayai,” cetusnya.

Meneliti masalah rumah tangga orang, tentu bukan persoalan yang mudah. Saat menemui obyek penelitian untuk melakukan wawancara,  istri Tri Wahyudi, 38, itu mengaku dua kali menjadi  sasaran amukan keluarga. “Kalau yang bercerai tidak apa-apa, tapi keluarganya sempat ada yang marah, katanya ini aib,” ucapnya.

Catatan yang ditonjolkan dalam penelitian itu  adalah keberadaan anak korban perceraian.  Rata-rata keluarga yang bercerai itu memiliki  anak kelas 1 sampai 3 SD dan perkembangannya  banyak yang kurang bagus. “Anak-anak itu makin  kasar omongannya, katanya gak usah sekolah sudah bisa cari uang,” ucap dosen yang menyelesaikan S2 manajemen di Unej itu.

Lilit menegaskan tidak semua TKI yang bekerja  di luar negeri itu bercerai. Tapi dari 20 sampel keluarga cerai yang diteliti, semuanya pernah  menjadi TKI. Dengan adanya penelitian ini, ke depan kelangsungan rumah tangga lebih harmonis  tanpa disertai perceraian. “Kita tidak bisa melarang, tapi setidaknya mengurangi angka perceraian,”  ucapnya. (radar)