Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Derita Para Imigran Etnis Rohingnya asal Myanmar

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Untitled-25Kabur Tanpa Tujuan karena Ingin Selamat

Sebanyak 56 orang imigran gelap dari Etnis Rohingnya, Myanmar, terdampar di Banyuwangi sejak Senin (8/4) lalu. Setelah lima hari sembunyi di Pondok Pesantren Nahdlatul Qodiri Dusun Seneposari, Desa Barurejo, Kecamatan Siliragung, mereka ditampung di Gedung Pramuka Banyuwangi. Bagaimana kondisinya?

SEORANG bocah yang berumur kurang dari setahun, terlihat duduk di kasur yang digelar di salah satu ruangan Kwarcab Gedung Pramuka Banyuwangi. Bocah yang hanya mengenakan pampers itu, matanya terus mengamati lalu lalang warga sekitarnya. Bocah ini tampak hanya terdiam, saat ada pekerja sosial yang ingin mengajaknya. Ibu bayi yang duduk di sampingnya, terlihat juga hanya tersenyum kecil. “Anak-anak imigran ini banyak yang sakit gatal, juga ada yang sakit tenggorokan,” jelas pekerja sosial tersebut.

Para imigran asal Myanmar yang berjumlah 56 orang itu, selama ini tinggal tidak menentu. Saat negaranya terjadi kerusuhan etnis, mereka kabur naik kapal menuju Malaysia. “Kami ini tinggal satu kampung,” cetus Hamyun, 26, salah satu imigran. Hamyun mengaku tidak punya identitas sama sekali. Saat ini, dia juga tidak memiliki bekal uang dan makanan. Hampir dua pekan, mereka berada di negeri Jiran Malaysia untuk mencari suaka.

“Kalau kami berada di kampung, jelas akan dibunuh. Semua yang beragama Islam di bantai di sana,” katanya dengan Bahasa Melayu Memang, untuk berkomunikasi dengan para imigran itu bukan hal mudah. Dari 56 orang imigran itu, tidak semuanya bisa berbahasa Melayu. Para imigran itu juga banyak yang tidak bisa berbahasa Inggris. “Tidak semua bisa cakap Melayu,” cetus Hamyun.

Sebelum sampai ke Banyuwangi, para imigran yang sempat tinggal di Malaysia itu sempat mampir ke Medan, Sumatera Utara, dan meluncur ke Jakarta dengan menumpang kapal kecil. Dari Jakarta, mereka melintasi jalur darat menuju Surabaya dan meneruskan perjalanan ke Banyuwangi. “Dari Malaysia hingga Banyuwangi, perjalanan berlangsung selama sebulan,” sebut Aming, imigran lainnya dengan menggunakan Bahasa Arab.

Selama sebulan dalam perjalanan itu, para imigran yang sudah tidak memiliki bekal ini kesulitan makan. Bahkan, mereka pernah lima hari tidak makan. Bila ada makanan, porsinya hanya sedikit sekali. “Kami menderita, lima hari tidak makan,” sebut Aming didampingi istrinya yang tengah hamil lima bulan. Aming mengaku tidak tahu nama kota-kota yang pernah disinggahi selama perjalanan. Karena baginya, hanya mengikuti orang yang mengajak dan bisa menyelamatkan nyawanya.

“Kami kabur dari negara karena ada kerusuhan, dan kami hanya ingin selamat,” cetusnya. Para imigran itu sebelumnya tidak pernah mengenal nama Banyuwangi. Mereka datang ke Bumi Blambangan karena ada yang mengajak. Mereka tidak memiliki tujuan yang pasti. “Kami tidak punya tujuan, kami hanya ingin hidup tenang,” katanya. Meski baru beberapa hari berada di Banyuwangi, Aming merasa sudah cukup senang.

Bahkan, pria ini mengaku bersama istrinya akan senang bila Pemkab Banyuwangi mau menampung. “Kami mau menjadi warga sini (Banyuwangi),” selorohnya. Aming dan Hamyun mengaku tidak tahu akan bagaimana nasibnya ke depan. Kini, dirinya juga hanya bisa pasrah dengan pemerintah Republik Indonesia yang berencana akan mengembalikan mereka ke negara asal. “Kami takut kalau harus pulang (ke Myanmar),” cetus Hamyun. (radar)