Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Dicegat Gerombolan, 27 Teman Tewas

PEJUANG TANGGUH: Soekadi muda bersama istri (atas). Soekadi menunjukkan penghargaan dari Presiden Soekarno dan Soeharto (kanan).
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
PEJUANG TANGGUH: Soekadi muda bersama istri (atas). Soekadi menunjukkan penghargaan dari Presiden Soekarno dan Soeharto (kanan).

Kisah Perjuangan Serma (Purn) Soekadi, Tentara Tulen dari Bajulmati

Genap 67 tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir. Rentang waktu setengah abad lebih itu mengingatkan kepada generasi sekarang betapa gigihnya TNI berjuang membela negeri ini dari cengkeraman penjajah waktu itu. Tak terkecuali bagi Serma (purn) Soekadi. HUT TNI kali ini mengingatkan dia dengan masa-masa mengusir penjajah.

USIANYA sudah tergolong uzur. Meski sudah berumur 90 tahun, Soekadi masih lantang bersuara. Gaya bicaranya ceplas-ceplos dengan logat mataraman. Maklum Soekadi lahir di Tulungagung, dan lama bertugas di Banyuwangi.

Meski namanya tidak setenar Jenderal Soedirman, tapi sosok Soekadi cukup memberi arti dalam perjuangan Indonesia mengusir penjajah.

Dia ikut memanggul senjata ketika Surabaya digempur habis-habisan oleh pasukan Inggris 67 tahun lalu Bukan hanya itu, Soekadi muda juga ikut menumpas pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950.

Rangkaian perjuangan merebut dan mempertahankan Negara Kesatuan Re publik Indonesia (NKRI) itu kini masih belum hilang dari ingatan Soekadi. “Ketika bertugas di luar Jawa itu, saya bergabung dalam Kompi 514 Bondowoso. Saya tidak tahu apakah teman-teman saya sekarang masih hidup ataukah sudah mati,’’ ucap Soekadi mengawali pembicaraan dengan wartawan koran ini.

Sejak pensiun sebagai tentara tahun 1975, Soekadi memperoleh tiga penghargaan. Pertama, penghargaan berupa surat tanda jasa dari Presiden Soekarno tanggal 10 November 1958. Dia dinyatakan ikut berjuang gerilya membela negara. Penghargaan kedua berupa Satyalencana Satya Dharma tanggal 1 Oktober 1962 dari Jen deral A.H. Nasution.

Penghargaan ke tiga berupa Lencana Cikal Bakal Ten tara Nasional Indonesia dari Presiden Soeharto tanggal 9 Januari 1998. “Bagi saya penghargaan tidak penting. Justru yang lebih penting adalah menanamkan semangat berjuang bagi generasi sekarang.

Yang lebih penting lagi, pemerintah harus le bih peduli kepada pejuang-pejuang seperti saya ini,’’ ujar Soekadi penuh semangat. Setelah pensiun dari TNI, Soekadi menetap di rumahnya di belakang Mapolsek Wongsorejo, tepatnya di Dusun Galekan, Desa Bajulmati, Wongsorejo. Di tempat itu, pria kelahiran 23 Maret 1922 itu tinggal bersama istrinya, Yatinah.

Berkat keuletan bekerja, Soekadi mampu membesarkan empat anaknya. Ke empat anaknya kini sudah sukses. Tiga orang jadi guru, seorang lagi jadi polisi. Di usianya yang cukup senja itu, Soekadi ha nya bisa tinggal di rumah. Sebab, penglihatannya kini tak lagi peka. “Bapak  udah tak bisa beraktivitas lagi. Sehari-hari hanya tinggal di rumah. Maklum sudah sepuh,’’ kata anak bungsu Soekadi, Totok Sas mito, yang kini jadi polisi dan berdinas di Mapolres Banyuwangi.

Meski usianya sudah 90 tahun, ingatan Soekadi dalam merebut negeri ini dari tangan penjajah masih segar. Dia juga lancar menceritakan penggalan-penggalan ce rita selama bertugas di Ambon, Maluku, Sulawesi, dan Surabaya. Kenangan yang paling tak terlupakan adalah ketika berdinas di Sulawesi tahun 1952.

Kala itu, Soekadi bersama pasukannya di kepung pasukan pemberontak Kahar Muzakar. Baku tembak pun tak terelakkan. Rupanya, nasib tak berpihak kepada pasukan Soekadi. “Teman saya 27 orang mati diberondong pasukan pemberontak.

Hanya empat orang yang selamat, termasuk saya,” kenang pria kelahiran Desa Pakel, Kecamatan Campur Darat, Kabupaten Tulungagung, itu. Kenangan lain adalah ketika Soekadi berjuang melawan penjajah Belanda di Banyuwangi. Pertengahan tahun 1945, dia dikepung pasukan Belanda.

Dia bersama pasukannya berhasil dipukul mundur. Ketika mundur inilah dia mencari selamat di sebuah pos di wilayah Sembon, Bangorejo. Sialnya, pasukan yang berada di pos tersebut justru mata-mata musuh. “Kami pun ditangkap dan ditawan selama 1,5 tahun di Ambulu, Jember. Saya bisa lepas setelah terjadi tukar-menukar tawanan perang,” cerita Soekadi.

Soekadi memang tergolong tentara tulen. Dia masuk tentara pada usia 19 tahun. Se belum masuk BKR, Soekadi bersama kerabatnya”hijrah” dari Tulungagung ke Banyuwangi. Perjalanan ratusan kilo meter itu ditempuh dengan jalan kaki.

Saya masuk tentara setelah berada di Banyuwangi,” akunya. Kala itu namanya BKR (Badan Keamanan Rakyat) lalu berubah jadi TNI. Kali pertama bergabung dengan BKR, dia menerima gaji Rp 200 rupiah. Seiring waktu, Soekadi muda yang masih berpangkat praka itu ak hirnya bergabung dengan Batalion 514 di Bondowoso.

Setelah perang melawan penjajah selesai, kami dikirim ke Sulawesi, Am bon, dan Maluku, untuk menumpas pem berontak,” jelas Soekadi dengan logat Jawa kental. Banyak kenangan pahit yang tidak bisa di ceritakan satu per satu. Namun, setelah masa-masa sulit itu dilalui, Soekadi akhirnya ber dinas di Banyuwangi.

Dia sempat ber tugas di Makodim 0825 Banyuwangi di Baud (Bagian Urusan Dalam). “Terakhir saya dinas di Koramil Wongsorejo. Pensiun tahun 1975. Namun, setelah pensiun tenaga saya tetap dikaryakan selama 15 ta hun menjadi Babinsa Wongsorejo,” ungkap Soekadi. (radar)