Bacakan Delapan Petisi di Kantor DPRD
BANYUWANGI – Puluhan dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Banyuwangi berunjuk rasa di kantor DPRD kemarin. Puluhan dokter lengkap dengan seragam kebesaran berwarna putih itu menolak program dokter layanan primer (DLP) yang digulirkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Dalam aksinya, mereka berjalan kaki dari depan gedung eks kantor Grapari yang berlokasi sekitar 50 meter di selatan kantor DPRD Banyuwangi. Selama perjalanan menuju kompleks kantor dewan, mereka meneriakkan yel-yel penyemangat.
“IDI Banyuwangi, yes. IDI Banyuwangi, yes. IDI Banyuwangi, okay. DLP, no, no, no,” seru mereka. Bukan itu saja, mereka juga menenteng spanduk bertulisan “Reformasi Sistem Kesehatan dan Sistem Pendidikan Kedokteran yang Pro Rakyat. Mewujudkan Dokter Indonesia Bermutu, Tanpa DLP”.
Sesampai di kantor dewan, para dokter tersebut menyanyikan lagu “Bagimu Negeri”. Setelah menyanyikan lagu “Bagimu Negeri”, Ketua IDI Banyuwangi, dr. Yos Hermawan, membacakan petisi berisi delapan poin.
Poin pertama, reformasi sistem kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran yang pro rakyat. Poin kedua, revisi Undang-Undang (UU) Pendidikan Kedokteran. Poin ketiga, IDI mendesak perbaikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“JKN jangan memberatkan rakyat,” cetusnya. Selain itu, para anggota IDI Banyuwangi mendesak penurunan pajak obat dan alat kesehatan. Poin kelima sampai ke delapan berbunyi wujudkan dokter Indonesia bermutu, tanpa DLP; rakyat tidak butuh DLP, tetapi butuh obat dan alat kesehatan; perbaiki BPJS, lengkapi obat dan alat kesehatan; serta program- program pendidikan DLP hanya memboroskan anggaran.
Sementara itu, usai menggelar orasi, para dokter tersebut diterima langsung Ketua DPRD I Made Cahyana Negara dan Wakil Ketua DPRD Ismoko. Selain itu, pertemuan yang dilakukan di ruang rapat khusus kantor dewan itu juga dihadiri sejumlah anggota dewan asal lintas fraksi.
Yos Hermawan mengatakan, tujuan sistem pendidikan DLP sebenarnya bagus. Hanya saja, implementasi program itu sangat menyulitkan. “Di Banyuwangi masih kekurangan tenaga dokter. Tetapi, dengan DLP, dokter yang sudah lulus harus sekolah lagi. Kalau itu dilakukan, kekurangan dokter semakin meningkat,” sesalnya.
Seharusnya, kata dia, zaman boleh berubah. Penyakit juga boleh berganti. Tetapi, itu seharusnya disikapi dengan mengubah kurikulum pendidikan kedokteran, bukan menambah waktu dengan mewajibkan dokter yang sudah lulus harus kembali sekolah. (radar)