Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Dulu Bahan dari Memilah Sampah, Kini Produknya Tembus Luar Jawa

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

suasana-pembuatan-tas-pita-plastik-di-desa-setail-kecamatan-genteng

SIANG itu, dua perempuan terlihat tekun menganyam pita dengan membentuk tas ukuran besar. Ruangan yang tidak terlalu luas, tampak semakin sempit dengan banyaknya tas yang berserakan. Juga ada yang ditumpuk berdasarkan warna dan ukuran.

Salah satu pekerja terlihat cukup terampil menganyam pita dengan pita lain hingga membentuk tas. Tas hasil karyanya,  menumpuk di sampingnya. “Saya  biasanya bisa menyelesaikan 20 tas  alam sehari,” cetus Indah Amalia, 26.  Di antara tumpukan tas setengah jadi   dan gulungan pita auto packing di depan teras rumah, Almunir, pemilik usaha tas ini bersama dua karyawannya lainnya  terlihat menyelesaikan tas yang kondisinya  setengah jadi.

Usaha yang ditekuni oleh suami Siti Nikmatul Koyimah, 43, itu terbilang lama. Sejak tahun 1996, sudah merintis usaha  ini di sela-sela kegiatannya mengayuh  becak. Saat itu, dia membuat anyaman tas dari pita limbah. “Dulu saya narik  becak, ini plastiknya cari sisa-sisa di tempat sampah,” katanya.

Usaha dengan pita limbah itu ditekuni  hingga tiga tahun lamanya. Setelah itu, diputuskan tidak memakai limbah setelah ada penjual pita. Sejak itu, bahan baku yang digunakan sudah  berupa gulungan dengan harga mulai  Rp 200 ribu per gulungnya.

“Setelah  ada yang jual di toko, saya tidak memakai pita bekas,” terangnya. Sejak membeli bahan di toko, corak  tas yang dibikin mulai bagus dan bermacam-macam. Hingga akhirnya, banyak tetangga yang tertarik untuk ikut membuat. Dan kini, rumahnya   menampung 35 tenaga kerja.

“Sekarang saya kerja dibantu 35 orang,” jelasnya. Warga yang ikut bekerja dengannya,  biasanya datang pagi hari. Sebagian mengerjakan di tempatnya, tapi sebagian  lagi memilih dibawa pulang. Mereka itu mengerjakan pekerjaannya per bagian.  Rata-rata, dalam sehari ada sekitar 100 tas yang siap dipasarkan.

“Kalau jadinya  ya tidak langsung, tapi sehari mesti 100 tas jadi,” ucapnya. Ayah dari Fajar Abdillah, 22; Nahdliyatul  Fikriyah, 17; dan Naimah Auliya, 12, itu   mengaku produk yang dibuat sudah  memiliki pelanggan tetap di daerah Madura, Jawa Barat, Kalimantan, dan Sulawesi.

Pengiriman untuk Madura dan beberapa kota di Jawa, dilakukan dua kali dalam sepekan. Sementara untuk luar Jawa, biasanya pengiriman itu dilakukan tiga kali dalam setahun. “Kita kirim di beberapa kota di Jawa dan luar Jawa,” ungkapnya.  Untuk harga, Almunir menyebut tas hasil karyanya itu dijual mulai harga Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu. Untuk pembelian dengan jumlah banyak, harganya juga bisa lebih murah lagi.

“Beli banyak harga bisa kurang,” cetusnya.  Dalam menekuni usaha ini, nyaris tidak ada  kendala. Satu-satunya yang membuat kendala, itu masalah modal. “Bahan yang dipakai juga  sensitif dengan api dan mudah terbakar, makanya harus hati-hati,” katanya.

Tempat usahanya itu, pernah dikunjungi oleh pejabat dari instansi yang membidangi kegiatan usaha masyarakat. Hanya, pejabat itu datang untuk mengambil gambar dan  sedikit wawancara. Padahal, dia sangat berharap dari kunjungan itu muncul dukungan,  seperti pinjaman lunak dan sejenisnya. “Itu yang dari perindustrian cuma motret-motret  saja, saya pikir akan diberi pinjaman bank,” cetusnya.(radar)